Bersama rombongan dari Deprtamen Luar Negeri dan beberapa wartawan, detikcom pada Rabu (3/12/2008) berkesempatan menengok pintu depan negeri tetangga ini.
Melalui jalan yang berkelol-kelok, melewati kawasan bernama Nafri, Abepante, Yaso, Koya, hingga kemudian setelah 1 jam tiba di perbatasan, atau Skouw-Wutung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama setahun penuh, 1 tim atau berjumlah 24 orang mengawal perbatasan, sebelum kemudian digantikan pasukan lainnya.
Tidak jauh dari pos tentara, berdiri pos imigrasi yang memeriksa kelengkapan dokumen. Hingga kemudian akhirnya memasuki kawasan Vanimo.
"Kalau penduduk setempat hanya membutuhkan kartu pelintas batas," ucap Pejabat Sementara Konsuler Indonesia di Vanimo, Sutarwidagdo.
Kadang menurut seorang petugas jaga, mereka hanya mengisi buku tamu saja, Namun berdasarkan pantauan beberapa warga Papua Nugini tampak melenggang saja tanpa melalui prosedur resmi.
"Itu karena sesuai adat, jadi mereka merasa masih ada di wilayahnya sendiri. Kebun mereka ada di Indonesia, demikian juga sebaliknya," tambah Sutarwidagdo.
Umumnya selain bertani, warga Vanimo banyak membeli kebutuhan sehari-hari di pasar yang berjarak 50 meter di belakang pos TNI. Pasar itu hanya dibuka pada hari tertentu saja seperti Rabu, Sabtu, dan Minggu.
"Mereka membeli untuk dijual lagi di Vanimo," tambah pria yang akrab disapa Sutar ini.
Bagi warga Indonesia yang berkendara, terpaksa meninggalkan kendaraannya di perbatasan. Kita mesti menaiki kendaraan sewaan menuju Vanimo.
"Ini karena belum ditandatanganinya perjanjian penuh soal perbatasan di kedua negara," tutur Sutar.
Seorang diplomat lainnya menyebutkan, penandatangan ini tertunda karena Presiden SBY memiliki jadwal yang padat untuk meneken join agreement dengan PM Papua Nugini Michael Sumarek.
Dahulu pernah diajukan pada 2005, tapi akhirnya tertunda hingga sekarang. Seandainya perjanjian telah ditandatangani, maka untuk masuk ke wilayah negara tetangga itu hanya butuh pengesahan dokumen dan kemudian kendaraan bisa dibawa menuju Vanimo, seperti halnya di perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat.
Perjalanan menuju Vanimo dari perbatasan, selain jalan beraspal mulus yang berdasarkan plang merupakan 'Gift From Australian Government', kita akan melalui jalan yang membelah sungai.
"Kalau hujan dan kemudian banjir, ittu tidak akan bisa dilalui," sebut Sutar.
Tiba di Vanimo, kita akan melihat pantai dan langit yang begitu bersih. "Biasanya, turis atau wisatawan suka surfing di pantai," tutur Sutar.
Tapi ingat, angka kejahatan cukup riskan di kawasan ini. "Angka pengangguran cukup tinggi. Mereka hanya bergantung pada perusahaan penebangan kayu," tutur Sutar.
Memang, di sepanjang jalan perusahaan-perusahaan kayu bertebaran. Umumnya milik pengusaha asal Malaysia. "Mereka mengambil gaji setiap 2 minggu sekali, dan biasanya setelah itu minum-minum," lanjut Sutar.
Β
Apabila tiba waktu pengambilan gaji, akan ada antrian panjang di bank yang ada di kota berpenduduk sekitar 10 ribu jiwa ini.
"Tapi bank di sini, tidak mau menerima transfer uang dalam jumlah besar. Di sini rawan perampokan," tambah Sutar.
Mata uang Papua Nugini yakni Kina dan 1 Kina sama dengan Rp 4 ribu rupiah. Pasar dan sejumlah warung tradisional bertebaran di sekitar kota ini. Pada umumnya penduduk menjual produk asli berupa buah pinang yang kerap dijual ke warga di Jayapura. Sedang bahan lainnya yang dijual, umumnya berasal dari Indonesia.
Penduduk dalam berbicara menggunakan bahasa setempat yang disebut pidgin. Walau sebenarnya bahasa utama di negeri Papua Nugini yakni bahasa Inggris. Di kota ini, juga terdapat warga Papua, umumnya mereka mantan simpatisan organisasi Papua Merdeka. Pemerintah setempat merelokasi mereka ke beberapa antara lain kawasan yang disebut Black Warra.
Berdasarkan informasi pihak konsuler, sekitar 708 warga akan kembali ke Indonesia pada pertengahan 2009.
Mengunjungi Vanimo, wilayah Peovinsi Sandaun seluas 36 ribu Km2 ini tak lengkap bila tak melihat pantai. Ombak dan pemandangan di sini lumayan indah, Anda pun bisa bersurfing.
Untuk tanda mata atau oleh-oleh dari kota ini sepertinya masih minim, karena selain menebang hutan penduduk hanya bertani dan beternak. Dan pariwisata belum jadi komoditi utama.
Tapi ingat, bila bepergian menuju kota ini melalui perbatasan yang masih dipenuhi hutan jangan dilakukan sore hari. Seorang sopir mengingatkan, perampokan di tengah jalan masih rawan terjadi.
(ndr/irw)