Jangan Biarkan Garuda Raksasa di Cileungsi Mangkrak

Jangan Biarkan Garuda Raksasa di Cileungsi Mangkrak

- detikNews
Kamis, 27 Nov 2008 13:07 WIB
Jakarta - Kompleks Graha Garuda Tiara Indonesia (GGTI) di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, sempat menjadi sorotan tim khusus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) semasa Gus Dur menjadi presiden pada 2001. Salah satu anggota tim khusus PKB, Arifin Junaidi, mengatakan bangunan itu jangan dibiarkan mangkrak.

"Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar tidak terbengkalai," kata Arifin Junaidi kepada detikcom, Kamis (27/11/2008).

Saran Arifin ini dikemukakan karena GGTI dibangun dari uang PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau memang pembangunan itu menggunakan dana Jamsostek patut disesalkan sampai terbengkalai. Dana Jamsostek hanya dari para buruh pekerja, mau tidak mau harus dipotong dari upah mereka," kata Arifin Junaidi.

Karena proyek itu dulu diintervensi pemerintah, maka pemerintah harus mencari cara agar bangunan itu tidak terbengkalai.

"Makanya pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan karena kalau memang betul gunakan dana Jamsostek, bagaimana dana yang sudah diambil dari Jamsostek tidak mubazir," saran dia.

Arifin menyarankan untuk melihat kembali niat membangun GGTI itu, baik tujuannya dan peruntukannya. Bermanfaat atau tidak, pemerintah harus mengintervensi agar dana kembali pada pemilik modal.

"Jika dinilai tidak bermanfaat ya dijual, dilelang nantinya uangnya kembali pada sumbernya," saran Arifin.

Alternatif lain, pemerintah mengintervensi dan meneruskan tujuan pembangunan GGTI dan membangun kerjasama dengan swasta. Hasil pengelolaan dengan swasta itu, imbuh dia, bisa diputar dan dikembalikan pada Jamsostek.

"Berapa pun Rp 75 miliar, dijual, dan sekarang nilainya jadi berapa kembalikanlah, kasihan buruh," tuturnya.

Menurut Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo 26 Februari 2001, GGTI dibangun pada tahun 1995 untuk penginapan atlet SEA Games XIX pada Oktober 1997. Pada Agustus 1995 proyek itu macet karena kehabisan dana. Padahal bangunan sudah mencapai 70 persen. Bangunan pun terbengkalai selama 15 bulan.

Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut sebagai komisaris utamanya mencari cara. Atas persetujuan Presiden Soeharto kala itu, Mbak Tutut bertemu dengan Menteri Perumahan Rakyat Akbar Tandjung dan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief.

Tujuannya, agar mendapatkan kredit murah dari Bank Tabungan Negara (BTN) senilai Rp 75 miliar, dengan bunga 10 persen. Grace period kredit itu 2 tahun. Asal dananya, dari Jamsostek.

Jamsostek menempatkan deposito Rp 75 miliar di BTN dengan bunga 8,5 persen. ย 

BTN dan Jamsostek saat itu berada di bawah dua menteri itu. Menpera mengirimkan surat pada Menaker tentang penempatan dana Jamsostek di BTN sesuai yang telah disepakati. Menaker pun mengirimkan surat kepada Direksiย  Jamsostek agar menempatkan uangnya di BTN.

Pengajuan kredit itu sempat disarankan ditolak oleh Wakil Kepala Biro Kredit Umum BTN akhir 1996. Ada dua alasannya. Lokasi penampungan atlet SEA Games telah diputuskan untuk dialihkan ke Hotel Mulia Senayan. Sedangkan jika GGTI dijadikan hotel komersial, lokasinya yang jauh di pelosok dinilai tidak punya prospek.

Namun pembangunan GGTI tidak selesai juga. Sampai akhir 1998 GGTI tidak mampu melunasi kreditnya, sehingga macet. Dan pada 31 Maret 1999, seluruh posisi kredit atas nama GGTI di BTN Cabang Kuningan, Jakarta, diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). (nwk/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads