"Yang namanya jamu herbal tidak memberikan efek tokcer. Kalau tokcer namanya obat, karena obat dirancang sedemikian rupa untuk kesembuhan seketika," ujar ujar pengasuh rubrik kesehatan dan penulis buku dr Handrawan Nadesul.
Hal itu disampaikan Handrawan dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (17/11/2008).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makan atau minum herbal itu mempertahankan kondisi kesehatan kita. Ramuan bumbu-bumbu masakan itu juga berkhasiat alami yang dibutuhkan oleh tubuh-tubuh kita. Karena tercukupi, badan kita sehat. Orang yang makan kunyit lalu merasa enak badannya bukan berarti itu obat, tapi karena tubuhnya kekurangan zat yang ada dalam kunyit itu," papar dia.
Kasus yang selama ini terjadi, imbuh dia, adalah obat yang berkedok jamu. Seperti di wilayah Cilacap, produk jamu pegal linu yang dibuat skala rumah tangga ternyata ditambah zat kortikosteroid atau obat anti radang.
Padahal kortikosteroid tidak boleh digunakan tanpa sepengetahuan dokter, karena pantangan untuk beberapa orang yang mempunyai penyakit kencing manis, darah tinggi atau jantung.
"Karena nakal, orang memasarkan secara gelap sebagai jamu pegal linu. Seperti ratusan rumah di Cilacap yang memproduksi jamu berbagai merek. Jamu gendong mungkin lebih aman, karena ditumbuk dari umbi-umbian. Yang bahaya itu jamu bermerek dalam kemasan," papar dia.
Produsen 'obat kuat' nakal karena bisa jadi mengajukan izin untuk membuat dan mengedarkan produk bukan obat pada BPOM, namun pada kenyataannya menambahkan zat kimia obat yang bisa jadi diimpor.
"Ada produsen obat kuat alternatif itu yang mengaku saya tidak tahu bahannya diimpor. Itu kan alasan yang lugu sekali karena semestinya tahu," kata dia.
Dia juga pernah mendapati iklan tentang penjualan beberapa ton sildenafil, tak heran dengan beredarnya beberapa merek obat kuat.
"Bayangkan ada suplier yang bisa masuk membawa berton-ton generik viagra," tutur Handrawan.
Handrawan berpesan menggunakan obat kuat harus dengan resep dokter. "Tidak semua orang bisa memakai (obat kuat)," tandas dia. (nwk/nrl)