Sikap cueknya juga sempat membuat hakim di persidangannya, Ketua Majelis Hakim, I Made Sudira kesal. Dalam persidangan terdakwa perakitan bom Bali, Suranto alias Abdul Ghoni, anak kelima dari 13 bersaudara itu menolak bersaksi.
Bahkan, bapak dua anak itu tidak mau mengecek tanda tangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Karena sikap ini, akhirnya, jaksa hanya membacakan BAP Amrozi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
menegaskan, aksi pengeboman yang dilakukan bersama komplotanya itu murni untuk membela umat Islam di seluruh dunia.
Pria kelahiran 5 Juli 1962 itu ditangkap 5 November 2002 atau sekitar 1 bulan setelah bom di Jalan Raya Legian (Paddy's Pub dan Sari Club).
Pria muda itu dicokok saat baru bangun tidur di rumahnya di Desa Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur.
Tidak sempat ganti baju apalagi mandi, anak pasangan Tariyem dan Nur Hasyim itu langsung dibawa dengan mobil. Sebelum menghuni Lapas Batu, Nusakambangan, Jawa Tengah, Amrozi ditahan di Rutan Polda Bali.
Amrozi merupakan salah satu dari tiga tokoh inti bom Bali. Dibantu Ali Imron, pria kurus itu bertugas membeli bahan peledak dan mobil L-300 yang diketahui digunakan untuk membawa alat-alat pengeboman.
Bahan-bahan kimia itu dibeli pria muda itu di toko Tidar Kimia milik Silvester Tendean di Surabaya beberapa pekan sebelum 'hari pengemboman'. Entah apa maksudnya, barang-barang yang bisa menjadi ganas itu dibawa ke Bali dalam empat kali pengiriman menggunakan jasa paket bus penumpang umum jurusan Surabaya-Ubung Denpasar.
Sementaran mobil yang dibeli Amrozi, dikirimkan ke Bali pada 12 Oktober 2002. Mobil itu, konon diterima langsung oleh koordinator lapangan (korlap) Imam Samudra.
Usai menunaikan tugas-tugas itu, pria yang rujuk dengan istri pertamanya, Rochma itu mengaku pulang ke desanya di Solokuro, Lamongan, Jawa Timur pada 10 Oktober. Dia juga mengaku tidak tahu menahu tentang bagaimana peristiwa pengeboman di Legian yang
menewaskan sekitar 202 orang itu, 12 Oktober 2002.
Setelah melalui persidangan yang panjang, pria yang saat pengemboman berusia 40 tahun itu itu divonis bersalah dan dihukum mati oleh Pengadilan Kerobokan di Denpasar, Bali.
Sejak itu, Amrozi menjadi penghuni LP Kerobokan. Namun bersama dua tersangka lain, Imam Samudra dan Muklas, Amrozi dipindahkan ke LP Nusakambangan, Jawa Tengah pada 11 Oktober 2005.
Dalam persidangan, pria yang pernah menimba ilmu dari Abu Bakar Ba'asyir itu mengaku memang terlibat dengan peristiwa bom Bali I.
Namun dia tetap berkeras tidak pernah menjadi pelaku pengemboman.
Meski begitu, polisi tetap yakin, Amrozi adalah orang penting dalam aksi teroris itu. Mereka berkeyakinan, pemuda desa itu bertugas sebagai pelaksana dan perencana di lapangan. Polisi yakin hal itu dari kepintaran Amrozi untuk mengutak-atik peralatan elektronik seperti handphone dan lainnya.
Bersama kedua rekannya yakni Imam Samudra dan Ali Gufron, Amrozi dieksekusi dengan tembak mati. Mereka diputuskan bersalah dan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas tewasnya lebih dari 200 orang pada 12 Oktober 2002 silam. (ken/iy)