Kampung itu bernama asli Nafri, terletak sekitar 30 km dari kota Jayapura, Papua, dan berdekatan dengan kampung Koya Koso. Nafri dibelah oleh jalan beraspal selebar 4 meter, yang menghubungkan distrik-distrik di Jayapura.
Saat detikcom melintas beberapa waktu lalu, kampung tersebut tampak lengang. Hanya ada satu-dua penduduk yang berdiri di tepi jalan hendak pergi ke ladang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepintas, kehidupan di Nafri terasa adem ayem saja. Namun, jangan kaget bila yang dijumpai pertama kali saat masuk kampung itu adalah pos polisi. Sekitar 5 orang polisi tampak berjaga di pos yang baru dibangun itu.
Jimmy, salah seorang pegawai Pemprov Papua menuturkan, pos itu dibangun pasca keributan antara penduduk Nafri dengan penduduk asal Wamena. Peristiwa itu dikabarkan sampai menelan korban.
Awalnya, penduduk Wamena yang hendak mengambil makanan ternak lewat di Nafri. Mereka dihadang oleh penduduk Nafri dan hendak dirampok. Karena melawan, akhirnya terjadilah perkelahian.
Menurut Jimmy, kampung Nafri terkenal sebagai 'kampung sadis' karena penduduknya yang sering melakukan kekerasan. Tak hanya karena ego kesukuan, kekerasan juga dilakukan terhadap orang luar yang dianggap bersalah di kampung itu.
Misalnya, kata Jimmy, bila menabrak binatang babi atau anjing di kampung tersebut, dia menyarankan sebaiknya cepat-cepat melarikan diri. Sebab, penduduk Nafri akan memukuli penabrak binatang itu.
"Kalau menabrak babi mending lari saja, daripada dianiaya," kata Jimmy.
Tak hanya memukuli, lanjut Jimmy, penabrak akan dimintai ganti rugi atas binatang yang menjadi korban.
"Untuk babi dan anjing yang masih kecil, ganti ruginya Rp 250-an ribu. Nah bila menabrak yang dewasa, ganti rugi akan dihitung dari berapa jumlah susunya," jelas Jimmy.
Menurut Jimmy, perilaku penduduk Nafri itu sebagian besar dipengaruhi oleh minuman keras (miras). Minum minuman memabukkan itu memang menjadi budaya orang Papua, seperti halnya di Nafri.
(irw/nrl)