"Kalau yang paling nyaman suntik mati. Orang yang disuntik tidak akan merasa sakit," kata ahli anastesia Dr Sun Satrio.
Dr Sun menyampaikan hal tersebut saat menjadi saksi ahli dalam sidang MK tentang Pengujian UU No 2/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di kantor MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (18/9/2008) yang diajukan oleh Amrozi cs.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Suntikan pertama adalah untuk membius, menghilangkan kesadaran," terang Dr Sun.
Suntikan ini mirip dengan pembiusan biasa, hanya saja dosisnya jauh lebih tinggi, 8 sampai 20 kali lipat dosis bius biasa. Tahapan pertama ini merupakan tahapan paling penting mengingat jika gagal, maka suntikan tahap kedua dan ketiga tidak lagi terasa nyaman, tapi justru sangat menyakitkan.
"Obat bius harus masuk ke pembuluh balik. Kalau keliru pembuluh nadi akan terasa sakit," lanjut Dr Sun.
Suntikan selanjutnya diberikan dalam kondisi terhukum sudah pingsan total. Suntikan ini ditujukan untuk melemaskan otot. Begitu obat ini disuntikkan, otot akan tidak berfungsi sama sekali. Adapun suntikan terakhir ditujukan untuk menghentikan fungsi jantung. Jika proses ini berjalan lancar, menurut Dr Sun, terhukum tidak akan merasa sakit sama sekali.
Hanya saja, belajar dari pengalaman di Amerika, ada dilema yang dihadapi dalam penerapan hujuan mati dengan cara ini. Sebab dokter dan perawat tidak diperkenankan menjadi eksekutor maupun membantu proses eksekusi karena bertentangan dengan kode etik dokter. Jadi pelaksana biasanya adalah orang yang belum mahir. Di sanalah peluang munculnya kesalahan prosedur sehingga menimbulkan rasa sakit. Akibatnya, cara ini belum tentu menjamin kenyamanan.
Itu dari segi kenyamanan. Namun kalau dari segi kecepatan, menurut Dr Sun, tembak kepala adalah cara yang paling efektif untuk mematikan orang. Syaratnya, tembakan harus kena tepat pada otak. Orang yang ditembak akan langsung mati.
Metode tercepat selanjutnya adalah tembak jantung dan penggal. Dengan metode ini, dalam 7-11 detik korban akan pingsan lalu mati sehingga rasa sakit yang dialami relatif singkat.
"Hanya saja kalau tidak tepat kena jantung, prosenya akan lama," terang Dr Sun.
Inilah agaknya, duga Dr Sun, yang terjadi dengan terpidana mati di Nusakambangan bernama Antonius dan Samuel. Seperti diceritakan Romo Charlie Burrows yang dihadirkan dalam sidang tersebut sebagai saksi fakta, Samuel dan Antonius mengerang kesakitan selama 7 menit sebelum akhirnya 3 menit kemudian dokter memastikan mereka sudah putus nafas. Samuel dan Antonius dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak di bagian jantung oleh 2 regu tembak yang masing-masing terdiri dari 7 orang.
Cara hukuman mati yang paling menyakitkan dan lama, menurut Dr Sun, adalah gantung. Seharusnya cara ini bisa seefektif penggal jika dilakukan dengan tepat, yakni langsung mematahkan leher.
"Tapi ini jarang terjadi," terangnya.
Yang sering terjadi adalah terhukum tidak langsung mati, tapi merasa seperti tercekik karena lehernya tidak langsung patah sehingga tersiksa dalam waktu yang lama.
Sidang yang dipimpin Ketua MK Moh Mahfud MD ini menghadirkan 1 orang saksi fakta dan 4 saksi ahli dari pihak pemohon. Saksi fakta adalah seorang pendeta dari Cilacap, Jateng, Romo Charlie Burrow yang pernah mendampingi ekskusi terpidana mati di Nusakambangan sebagai rohaniwan. Keempat saksi ahli adalah KH Mudzakir dari MUI Surakarta, Ahli Hukum Pidana UI Rudi Satrio, Ahli Bedah MERCY Dr Jose Rizal, dan Ahli Anastesi Dr Sun Sunatrio.
(sho/nrl)