"Biasanya saya bisa keluar rumah di atas jam 12.00 WIB," kata Saodah di rumahnya yang sangat sederhana, Gang EF, Jl Budi Kemuliaan , RT 3/6, Pademangan Barat, Jakarta Utara, Kamis (4/9/2008).
Saodah adalah seorang janda yang ditinggal mati suami lima tahun lalu. Dia harus menghidupi 5ย anaknya yang tinggal di pemukiman superpadat. Dia menyewa sepetak rumah ukuran 5x6 meter dengan sistem sanitasi buruk dan MCK yang tidak higenis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelahnya, Saodah melanjutkan kesehariannya, menjadi pengemis di tempat umum. Biasanya di perempatan lampu merah Mangga Dua atau tempat peribadatan.
"Kalau musim hari raya, seperti Imlek dan dan Idul Fitri, saya senang. Banyak orang yang memberi sedekah," ucap Saodah gembira.
Pada saat itu, selain pengemis reguler seperti dirinya, banyak orang miskin menjadi pengemis dadakan. Biasanya masih tetangga atau kerabat dari kampung yang ingin mengeruk jiwa sedekah khalayak.
Nambah persaingan? "Nggaklah. Mereka juga nyari rezeki juga. Biar nggak rebutan, hasilnya kita kumpulin di kelompok, lalu dibagi rata," imbuhnya.
Sutini (62), misalnya. Dia gembira, tidak hanya kalau puasa dan lebaran saja penghasilannya bertambah. Bersama puluhan teman-temannya ia biasa mengemis di Vihara Petak Sembilan, Glodok, bila musim imlek tiba. Bila musim puasa seperti sekarang, dia akan mengemis di masjid-masjid di daerah Kota hingga Istiqlal.
"Kalau dikumpulin, (jumlah pengemis) bisa ribuan kali, mas," ucapnya.
Mengemis, baik bagi Saodah ataupun Sutini, telah menjadi profesi. Dan seperti hukum ekonomi, semakin banyak gula, semakin banyak semut mengerubung.
"Kalauย imlek kan cuma dua-tiga vihara. Kalau puasa-lebaran, kan masjidnya banyak. Jadi teman-teman (yang ikut mengemis) juga nambah banyak," pungkas Sutini. (Ari/gah)