Gelar itu diberikan oleh pembawa acara Djadi Galajapo dalam Forum Alumni Jawa Timur untuk Jokowi di Tugu Pahlawan, Jl Pahlawan, Kota Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (2/2/2019). Djadi menyematkan gelar 'cak' yang merupakan kependekan dari cakap, agamis, kreatif. Bukan hanya itu, pembawa acara tersebut juga menyematkan gelar 'jancuk', yang artinya jantan, cakap, ulet, dan komitmen. Belakangan, panitia menyesalkan gelar yang diberikan secara spontan itu.
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Autar Abdilah mengatakan, secara kajian linguistik dan historis, kata jancuk punya sejarah dan makna yang unik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Autar melanjutkan, dalam perkembangannya, selain bisa diungkapkan sebagai kata bermakna positif, ternyata kata itu lebih banyak dikonotasikan sebagai kata negatif seperti pada makna awalnya.
"Dalam pelajaran kita sudah diarahkan dalam konotasi negatif. Bahkan anak kecil pun takut ngomong kata jancuk itu karena langsung merasa bersalah, merasa berdosa, dan takut sama orang tuanya jika ketahuan. Itu karena konstruksi makna yang dibuat oleh para orang tua dan orang dewasa saat itu," terang alumnus Unair Surabaya itu.
Lalu bagaimana dari sisi asal-usul historis kata itu? Autar menjelaskan tidak ada catatan resmi yang menuliskan sejak kapan kata jancuk persisnya pertama kali muncul. Namun ia tidak menyangkal dan meyakini bahwa kata jancuk itu asli Suroboyo.
"Kata jancuk itu pertama digunakan untuk melihat orang bersetubuh sambil dilihat orang secara ramai. Sebenarnya awalnya seperti itu. Jadi maknanya sebenarnya cukup kotor," terang pria yang menulis disertasi tentang budaya arek dan Suroboyo itu.
"Akhirnya jadi kosakata tersendiri yang sangat populer dan berkembang. Tapi di lingkungan arek-arek Suroboyo, terutama pada pasca-kemerdekaan, itu sudah berubah maknanya. Tidak hanya semata-mata untuk kata kasar, mengejek, menghina, atau membenci saja," jelas Autar.
Karena kosakata asli dari Suroboyo, kata jancuk pun hanya dikenal dan populer dalam pergaulan sehari-hari di kawasan seputar Jatim saja, khususnya di Kota Surabaya. Selain di wilayah itu, kata tersebut kurang populer.
Saat ditanya apakah tepat julukan 'Cak Jancuk' kepada Jokowi, Autar senada dengan pengamat lainnya. Ia menolak. Sebab, meskipun kata jancuk bisa beragam makna, ia menilai kurang tepat jika digunakan untuk penyebutan kepada seorang tokoh.
"Itu juga kalau menurut saya kurang etis lah, kurang pantas aja kalau itu jadi sebuah nama. Menurut saya itu nggak pantas, semisal Jokowi jancuk atau Prabowo jancuk. itu menurut saya tetap tidak begitu lazim. Masih ada kata lain lah kalau menurut saya," tandas Autar.
Simak Juga 'Kampanye di Surabaya, Jokowi Sapa Pendukungnya':
(fjp/van)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini