"Jadi dasar kerugian negara itu dari BPKP kalau tidak salah. Ini perlu dipelajari sebenarnya sumber informasi yang benar atau yang tepat dari mana, sehingga tak ada orang yang dirugikan," kata Fadli Zon saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/3/2017).
Fadli mengatakan kasus korupsi e-KTP terjadi pada 2009. Selanjutnya, pada 2014, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), disebut Fadli, menyatakan tidak ada kerugian dari proyek e-KTP.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca Juga: Ajaib Setya Novanto
Fadli menilai wajar usulan dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang meminta agar ada hak angket terkait dengan kasus proyek e-KTP ini. Pengusulan hak angket ini juga bergantung pada mereka yang namanya disebut terlibat dalam kasus ini.
"Kalau saya melihat itu tergantung pada mereka yang mungkin dirugikan namanya. Sebagai usul, bagus-bagus saja. Tapi apakah mereka mau melakukan itu? Karena itu kan perlu, sesuai dengan UU, perlu dua fraksi dan 25 anggota. Tergantung mereka. Bisa saja, maksudnya untuk mengoreksi sistem kinerja juga. Bagaimana sejauh ini, masalah, dakwaan ini kan baru sepihak. Saya kira itu perlu diperdalamlah," jelasnya.
Dalam kasus ini, jaksa pada KPK mendakwa eks Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman serta eks Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Sugiharto melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Baca Juga: Banjir Dollar di Senayan
Penyimpangan pengadaan e-KTP dimulai dari anggaran, lelang, hingga pengadaan e-KTP. Dalam perkara ini, Irman didakwa memperkaya diri sebesar Rp 2.371.250.000, USD 877.700, dan SGD 6.000. Sedangkan Sugiharto memperkaya diri sejumlah USD 3.473.830.
![]() |