Majelis hakim PTUN Jakarta memutuskan penyampaian hasil penyelidikan TPF kasus pembunuhan Munir ke publik oleh KIP batal. Para aktivis bersuara atas hal tersebut.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menilai putusan PTUN itu sebagai tindakan melegalkan kriminal. Sebab, menurutnya, hasil penyelidikan TPF terkait dengan meninggalnya aktivis HAM Munir merupakan informasi publik yang harus dibuka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Atas nama keadilan, keyakinan akan kebenaran dan hak konstitusi, kami berkeberatan atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan putusan Komisi Informasi Pusat bahwa dokumen Hasil Penyelidikan Tim Pencari Fakta Meninggalnya Munir merupakan informasi publik dan, oleh karenanya, pemerintah wajib mengumumkan dokumen tersebut kepada masyarakat," jelasnya.
Putusan PTUN itu dinilai bertentangan dengan fakta-fakta. Dikatakan Haris, menurut fakta, dokumen telah diserahkan secara resmi melalui mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005. Dokumen pun telah diserahkan kepada Kementerian Sekretaris Negara pada 26 Oktober 2016.
"Putusan ini menegaskan bahwa negara melalui berbagai perangkatnya terus berupaya menutupi kasus Munir, dan Presiden Joko Widodo tidak berani mengambil tindakan atas masalah ini," ucap Haris.
"Putusan PTUN Jakarta Timur sering kali tidak mematuhi prinsip-prinsip akuntabilitas hak asasi manusia, putusan yang dihasilkan memberi kekebalan hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM untuk terus menikmati kekuasaan politik. Hal ini mengindikasikan adanya masalah atas judiciary independence, PTUN tak bisa lepas dari tekanan politik dan, atau kekuasaan," lanjutnya.
Dari putusan itu, KontraS bersama LBH Jakarta, Omah Munir, Setara Institut, YLBHI, Imparsial, dan FAHAM akan mengajukan kasasi. Mereka menuntut dokumen TPF dipublikasi ke muka umum.
"Oleh karenanya, kami akan menempuh kasasi, mendesak Presiden Joko Widodo bertanggung jawab atas dihilangkan atau disembunyikannya dokumen TPF oleh pihak Istana Negara, dan jangan terus-menerus lari dari tanggung jawab atas masalah ini dengan bersembunyi di balik perangkat kekuasaan negara. Kami juga mendesak Komisi Yudisial melakukan pemantauan dan pemeriksaan terhadap majelis hakim Jakarta Timur, hakim yang memutus perkara ini," pungkas Haris. (azf/bag)