"Patut disayangkan, banyak nasehat yang masuk kepada presiden tidak memahami peta konstitusi dan UU pasca amandemen ke-4. Hal ini menyebabkan banyak sekali pernyataan yang sebetulnya sudah tidak relevan," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/11/2016).
Ia menjelaskan, pertama soal demonstrasi masih digunakan kata ditunggangi dan digerakkan. Padahal menurutnya demonstrasi untuk mendorong kepolisian mengusut pidato kontroversi Ahok soal Al Maidah 51 itu penggeraknya legal dan sah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan makar dalam terminologi di KUHPidana disebut anslaag. Aanslag itu diartikan sebagai gewelddadige aanval yang dalam bahasa Inggris artinya violent attack atau serangan yang menyebabkan kerusuhan.
"Artinya makar itu hanya terkait dengan fierce attack atau segala serangan yang bersifat kuat. Memang di Bab II KHUPidana sebelum reformasi makar di bahas dari pasal 104 sampai dengan 129. Namun sekarang sudah banyak yang dihapus dan tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat," beber Fahri.
Yang dimaksud violent attack menurut Fadli antara lain seperti membocorkan rahasia negara, kerjasama dengan tentara asing dalam massa perang. Sementara yang terkait dengan kehormatan dan martabat kepala negara, lanjut dia, sudah berubah menjadi delik aduan.
"Amandemen 1945 memigrasi segala anasir otoriter yang berpotensi mengekang kebebasan befikir dan berekspresi masyarakat. Jadi salah tempat di era demokrasi ini kalo masih ada yang berpikir tentang makar. Presiden naik dan jatuh diatur jalan keluarnya dalam konstitusi, tak ada yang tidak diatur demi tertib sosial," kata Fahri.
Ketiga, kata dia, soal posisi dan tugas legislatif. Menurutnya, tidak ada fungsi pengawasan eksekutif pada legislatif, yang memiliki fungsi pengawasan itu adalah legislatif.
"Fungsi pengawasan ini bisa di kantor DPR ataupun di luar kantor. Dan dalam menjalankan fungsinya tersebut tidak boleh ada yang menghalangi dan atau anggota DPR imun dari tuntutan. Itulah alasan kenapa legislatif diberi hak imunitas oleh UUD 45. Karena akan mengawasi kekuasan yang besar. eksekutif bisa saja tidak rela diawasi lalu menggunakan kekuasaan untuk menjegal dan melawan pengawasan. seharusnya dengan dasar itu anggota dpr harus berani," paparnya.
Baca Juga: Bara JP Polisikan Fahri Hamzah terkait Orasi di Demo 4 November
Ia menegaskan persoalan orasinya saat demo bukan soal makar atau melawan, tapi dirinya tengah menjalani fungsi pengawasan. Kalau memang bangsa ini menghendaki anggota DPR yang diam sebaiknya kembali ke sistem otoriter.
"Mungkin orang mau merebut pertumbuhan ekonomi besar seperti China dengan sistem tangan besi, silahkan saja tapi saya tidak akan diam. Saya tidak percaya dengan kemajuan ekonomi yang hanya meletakkan manusia dalam mesin produksi," ungkapnya.
Ia menambahkan, UUD 1945 kita adalah konstitusi manusiawi yang meletakkan manusia lebih penting dari apapun. Karena itu pemerintahan Jokowi ia minta jangan lagi menggunakan kosa kata yang sudah hilang di era demokrasi ini.
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Fahri Hamzah dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, karena diduga telah melakukan tindakan penghasutan dan makar pada demo 4 November 2016. Fahri dilaporkan ke polisi oleh Barisan Relawan Jokowi Presiden
(wsn/imk)