Agus mengaku, dirinya ditawari bantuan oleh Yusril untuk membawa masalah pemecatan dirinya oleh Ahok itu ke jalur hukum. Namun Agus menolak bantuan tersebut.
"Bang Yusril sudah menawarkan pendampingan hukum, tapi saya enggak mau terima karena enggak mau masuk ke ranah politik. Kalau saya terima itu nantinya akan ke ranah politik, bisa dipolitisasi," kata Agus saat dikonfirmasi detikcom, Senin (30/5/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi, jika dibawa ke ranah hukum kita siap. Lebih tepat dengan LBH Jakarta, karena itu tidak ada indikasi apa-apa, tidak ada indikasi politisasi," kata Agus.
Agus berharap dengan munculnya kasus pemecatan dirinya ini ke publik, bisa membuka 'mata' Ahok terkait penggunaan aplikasi Qlue oleh ketua RT dan RW. Menurutnya, kewajiban tersebut terlalu berat untuk diberikan kepada ketua RT dan RW.
"Jangan diributin di medialah yang seperti ini. Jangan tunjukin arogansi hanya untuk urusan RW. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana pilkada ke depan berjalan kondusif. Jadi perlu pendekatan gubernur ke tingkat bawah. Kita tidak ada niat untuk memboikot pilkada, apalagi disebut anti Qlue. Tidak. Saya juga bukan anti Ahok," tegasnya.
"Jadi aplikasi Qlue ini dipelajari dululah. Sistemnya juga diperbaiki. Supaya tidak ada kontroversi. Jangan diwajibkan, gitu aja," tambah Agus yang memiliki kesibukan lain selain ketua RW ini.
Seperti diketahui, ketua RT dan RW diwajibkan melaporkan 3 kali sehari kegiatan di kawasan mereka bertugas lewat aplikasi Qlue sesuai SK Gubernur Nomor 903 Tahun 2016. Laporan itu seperti kegiatan gotong royong, membersihkan selokan, ada orang berantem, sampah berserakan, angkot ngetem, dll. Dengan pelaporan itu maka ketua RT dalam sebulan akan mendapatkan uang operasional Rp 975 ribu dan ketua RW Rp 1,2 juta. Satu laporan di Qlue dihargai Rp 10.000. Ini merupakan alat Ahok untuk mengetahui kinerja aparatnya.
(jor/nrl)











































