"Makanya itu kan audit BPK, dan KPK sudah pernah investigasi kan?" jelas Ahok di KPK, Jl Rasuna Said, Jakarta, Selasa (12/4/2016).
"Sekarang saya pengen tahu KPK mau nanya apa, orang jelas BPK-nya ngaco begitu kok," kata Ahok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan DKI Jakarta yang menyatakan terdapat pelanggaran prosedur dan kerugian negara dalam pembelian lahan rumah sakit seluas 36.410 meter persegi itu. Kerugian mencapai Rp 191,3 miliar.
Sejumlah pihak melapor ke KPK. Kemudian KPK meminta BPK RI melakukan audit investigatif. Hasilnya sama dengan temuan BPK DKI, pembelian rumah sakit melanggar prosedur pengadaan tanah dan mengakibatkan kerugian negara Rp 191,3 miliar.
Namun, sejumlah pihak salah satunya Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan sejumlah masukan atas audit BPK itu.
BPK Jakarta dinilai mengabaikan pasal penting dalam prosedur pengadaan, yakni aspek luas tanah yang akan dibeli. Pasal 121 Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 menyatakan proses pengadaan tanah di bawah 5 hektare dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan dan pemilik tanah.
Dengan demikian pemerintah DKI Jakarta tidak perlu mengikuti prosedur yang diatur dalam pasal lain dalam undang-undang atau peraturan presiden tersebut. Pemerintah cukup membentuk tim pembelian tanah.
Kemudian, di pasal 121 juga berkaitan dengan soal penetapan lokasi tanah. Jika lokasi tanah telah ditetapkan dalam anggaran, instansi tersebut tidak lagi harus menetapkan lokasi tanah yang akan dibeli. Lokasi tanah telah ditetapkan dalam Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Perubahan 2014. KUA-PPAS ini juga telah disetujui oleh Gubernur dan pimpinan DPRD DKI.
Selain itu BPK Jakarta dinilai hanya menghitung kerugian negara berdasarkan nilai kontrak pembelian antara Yayasan dan PT Ciputra pada 2013 dengan harga tanah Rp 15,5 juta per meter persegi. Atas hitung-hitungan itu, nilai total pembelian lahan Sumber Waras oleh DKI seharusnya adalah Rp 564,3 miliar. Karena itu, kerugian negara ditulis menjadi Rp 191,3 miliar
BPK disebutkan dalam audit tidak berpatokan menggunakan nilai jual obyek pajak (NJOP) 2014 sebesar Rp 20,7 juta permeter persegi sebagai dasar penghitungan kerugian negara. NJOP ditetapkan pada Juni tiap tahun, sementara transaksi pembelian Sumber Waras dilakukan pada Desember 2014. (dha/dra)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini