Kondisi kawasan ini memang kumuh meski terdapat cagar budaya di lingkungan. Penyebabnya kawasan ini kedatangan banyak orang pendatang. Bagaimana ceritanya?
Museum Bahari pada zaman Belanda, merupakan gudang penyimpan rempah-rempah. Pada sekitar tahun 1846, Belanda membangun pasar ikan dan gedung heksagonal sebagai tempat transaksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Zaman dahulu kata Isa terdapat akuarium raksasa yang menjadi lokasi wisata gratis bagi masyarakat sekitar. Seiring majunya wisata di kawasan ini, Belanda pun memindahkan pelabuhan kapal laut ke Tanjung Priok.
"Karena di sini pusat kehidupan, maka semenjak kemerdekaan masyarakat pendatang dari Bugis dan Makassar mulai berdatangan ke sini. Namun perang membuat sebagian mereka pindah ke daerah pesisir utara. Satu-satunya tempat rekreasi adalah akuarium yang sekarang ini merupakan permukiman penduduk RT 01 dan RT 12," papar Isa.
Dia menuturkan, pada sekitar tahun 1972 akuarium raksasa itu dipindahkan ke Ancol oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Perpindahan itu membuat warga yang berada di sekitar kawasan Pasar Ikan mulai masuk ke dalam.
"Waktu itu dibangunlah kawasan Pasar Ikan oleh PD Pasar Jaya, tetapi malah dibuat menjadi tempat tinggal karena di sekitar kawasan Pasar Ikan masih ada tanah kosong. Pada tahun 1987 Pasar Ikan ditutup, mereka pun pindah ke Muara Angke. Saat itu pembangunan rumah mulai tidak terkendali dan menjadi tidak terawat hingga sekarang," imbuh Isa.
Kini Pemprov DKI Jakarta ingin mengembalikan kawasan Pasar Ikan Luar Batang sebagai kawasan cagar budaya.
"Salah satu syarat heritage international tentu harus mengembalikan lagi fungsinya. Kalau ini baik kita bisa merebut gelar heritage international di kawasan Malaka, Malaysia," kata Isa.
(edo/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini