"Panduan itu ditujukan bagi seluruh pemangku kepentingan nasional khususnya terkait anggaran. Tujuannya para peneliti dapat berkinerja sesuai standar global yaitu melakukan riset dengan baik, mempublikasikan hasilnya, mempatenkan dan bertransaksi lisensi secara terhormat," kata Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek Dikti Muhammad Dimyati, di acara Coffee Morning di Gedung D Kemenristekdikti, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (19/2/2016).
Dimyati mengakui saat RIRN itu masih dalam tahap pembahasan. Diharapkan pada Maret 2016 bisa diformulasikan dan naskah akademisnya bisa diusulkan menjadi perpres. Meski belum disahkan menurutnya RIRN ini sudah bisa menjadi pedoman karena yang menyusunnya juga berasal dari kalangan peneliti seperti dari Perguruan Tinggi, LPMK, DLN, IPI, industri, bahkan ada kepala-kepala badan litbang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dimyati memberi contoh bahwa kebanyakan peneliti melakukan penelitian di luar wilayahnya sehingga memerlukan transportasi yang tidak tercover oleh dana dari pemerintah. Seringkali mereka harus melakukan manipulasi dan disibukkan dengan menyusun pernak-pernik penelitian.
"Kita balik dengan cara yang tadi. Kalau dia mengajukan dana (penelitian) Rp 150/tahun yang dibreakdown dengan kebutuhannya. Itu hasilnya publikasi internasional. Ya sudah dibalik dikasih dana Rp 150 juta tapi harus mengajukan publikasi internaisonal," ujarnya.
"Nanti disaring oleh 2 tim. Tim pertama memutuskan layak atau tidak diteliti dan anggarannya berapa. Sebelum setahun dibayar ada tim quality insurance yang memastikan apakah hasilnya sudah sesuai proposal atau belum," tambahnya.
Hal itu dilakukan pemerintah untuk mendorong penelitian Indonesia makin maju dan mengembangkan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat. Untuk mengurangi dominasi teknologi asing pemerintah mendorong kerjasama dengan luar negeri. Misalnya program Nusantara, program UK Sains and Technoloy Fund, kerjasama dengan Australia (AIC) dan Jerman.
Dimyati menjelaskan peta publikasi dan paten di tingkat ASEAN, Indonesia masih kalah dari negara lainnya. Dia memiliki visi 2020 Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya.
"Kita tertinggal dari Malaysia, Singapura dan Thailand. Thailand sudah 12 ribu kita masih 6 ribuan publikasi/tahun, kita harus kejar itu. Kita harus jadi juara di 2020," tegas Dimyati.
"Saya yakin kita bisa karena dengan anggaran yang ada 1,5 T kita dapat masih dapat backup dr ALPDP 300 M, ISSM (institusi baru yang dibentuk untuk memback up peneliti-peneliti untuk menerima share budget dari luar kemudian ada kerjasama dalam dan luar negeri. Banyak resources kita," jelasnya.
Dalam acara ini hadir Direktur-Direktur dibawah Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
(fjp/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini