Kontroversi Sepanjang Tahun: Dana Aspirasi Rp 11,2 T Hingga 7 Mega Proyek

1 Tahun DPR 2014-2019

Kontroversi Sepanjang Tahun: Dana Aspirasi Rp 11,2 T Hingga 7 Mega Proyek

Indah Mutiara Kami - detikNews
Kamis, 01 Okt 2015 11:07 WIB
Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta - Setahun duduk di Senayan, DPR periode 2014-2019 memunculkan usulan-usulan yang kemudian menuai kontroversi. Pro dan kontra datang tidak hanya dari luar DPR, tapi juga di internal fraksi-fraksi yang ada di parlemen.

Kontroversi pertama adalah tentang usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP). Program ini adalah kelanjutan dari UU MD3 yang mewajibkan anggota DPR terpilih menjadi penyambung lidah rakyat yang diwakilinya. Contoh proyek yang bisa direalisasikan lewat program ini mulai dari jembatan rusak, jalan yang tidak mulus, hingga rumah ibadah dan fasilitas kesehatan.

"Contoh beberapa lalu ada jembatan gantung rusak sehingga anak sekolah bergelantungan. NantinyaΒ  anggota DPR di Lebak Banten boleh mengusulkan jembatan gantung tapi yang mengerjakan pemerintah, bukan DPR. Jadi bukan DPR membawa kontraktor. Semua proses mulai tender itu adalah usulan pemerintah," ujar Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mencontohkan, Selasa (9/6/2015) silam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

UP2DP kemudian menjadi lebih populer dengan istilah dana aspirasi. Badan Anggaran pun menganggarkan Rp 20 miliar per anggota atau total Rp 11,2 triliun. Meski duit ini nantinya tidak dipegang langsung oleh anggota, tetap saja hal ini menuai pro dan kontra.

"Tidak ada sepeser pun yang dipegang anggota. Hanya sampaikan aspirasi," kata Ketua Banggar Ahmadi Noor Supit kala itu.

Reaksi keras dari publik pun muncul. Dana aspirasi dikhawatirkan menjadi modus investasi politik anggota agar bisa dipilih rakyat pada pemilu selanjutnya. Program ini juga dianggap memperluas ketimpangan pembangunan dan berpotensi tumpang tindih serta rawan diselewengkan.

Setelah menuai kritikan, dana aspirasi mulai ditolak dari dalam DPR sendiri. Berawal dari Fraksi NasDem, Hanura dan PDIP lalu ikut menyuarakan penolakan. Meski begitu, sidang paripurna DPR tetap menyetujui tata cara pengusutan program dana aspirasi pada Selasa (23/6). Belakangan, Partai Demokrat juga menyuarakan penolakannya.

Bola lalu berpindah ke Presiden Joko Widodo. Peluang dana aspirasi batal terbuka bila presiden menolak. Mensesneg Pratikno kala itu menyebut Jokowi mengarahkan bahwa dana aspirasi tidak bisa difasilitasi.

Meski begitu, DPR tetap melanjutkan program ini yaitu dengan menerima usulan dari masing-masing fraksi. Di paripurna pengusulan program dana aspirasi, 6 fraksi yaitu PKS, Golkar, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP menyerahkan usulan program. Sementara itu, NasDem, Hanura, PDIP dan Demokrat tak mengusulkan. NasDem bahkan walk out.

Lalu, apa kelanjutannya? Ketua DPR Setya Novanto sempat menyinggung dana aspirasi tersebut saat berpidato di HUT ke-70 DPR. Pada akhirnya, semua kembali ke pembahasan DPR dan pemerintah terkait APBN 2016, akankah usulan-usulan itu diakomodir anggarannya.



Kontroversi lain yang diangkat DPR adalah soal wacana pembentukan polisi parlemen. Wacana ini berawal dari munculnya proposal yang disusun Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).

"Soal nama bisa berubah ubah, mungkin namanya pamdal. Disini sekarang ada polisi. Cuma ditingkatkan kapasitasnya, prasarana semua. Komunikasi. Koordinasi itu perlu. Protap seperti apa. Harus diatur melalui peraturan DPR, kalau engga semua orang datang jadi masalah keamanan," kata Ketua BURT Roem Kono, Senin (13/4/2015) lalu.

Dalam rancangannya, polisi parlemen akan dipimpin seorang jenderal berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen) eselon II A. Di bawah pimpinan yang disebut Direktur itu, ada unsur pembantu pimpinan yang diisi 39 personel polisi. Kemudian, di bawahnya unsur pelaksana tugas pokok yang diisi pimpinan dan anggota sebanyak 1.154 personel polisi. Sehingga total jumlah polisi parlemen yang disiapkan sebanyak 1.194 personel.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan bahwa polisi parlemen diperlukan untuk menuju parlemen Indonesia yang modern. Meski begitu, usulan ini mendapat penolakan dari sejumlah fraksi.

PKB, PDIP, dan NasDem menjadi fraksi yang menolak polisi parlemen. DPR yang dianggap masih aman menjadi alasan mengapa polisi parlemen ditolak. Lagipula, DPR sudah dijaga oleh petugas pengamanan dalam (pamdal).

Wacana pembentukan polisi parlemen ini juga dianggap muncul setelah peristiwa rebutan ruang Fraksi Golkar oleh dua kubu yang berseteru. Namun, hal itu sudah ditepis.

Lama tidak terdengar, wacana itu kembali menguat ketika Badan Legislasi DPR menyusun peraturan sistem keamanan parlemen terpadu. Baleg sendiri menyebut aturan itu bukan merupakan kelanjutan dari wacana polisi parlemen. Saat ini, aturan yang direncanakan untuk disahkan pada Oktober 2015 masih dimatangkan.



Salah satu usulan DPR yang masih menimbulkan kontroversi hingga sekarang adalah 7 mega proyek. Pro dan kontra sudah melibatkan pemerintah tetapi perencanaan masih terus berjalan.

Rencana pembangunan gedung baru DPR di periode 2014-2019 sudah berembus sejak awal dilantik, namun belum pernah ada penjelasan. Diketahui, DPR 2009-2014 juga pernah merencanakan pembangunan gedung baru, namun realisasinya batal.

Hingga akhirnya rencana itu dipaparkan secara resmi oleh Ketua DPR Setya Novanto pada penutupan masa sidang III 2014/2015, Jumat (24/4/2015) silam. Saat itu, Novanto menyebut Presiden Jokowi telah menyetujui rencana itu.

Tim Implementasi Reformasi yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun dibentuk untuk mengawal 7 proyek ini. Adapun rencana pembangunan meliput alun-alun demokrasi, museum dan perpustakaan, jalan akses masuk bagi publik, visitor center, pusat kajian legislasi, pembangunan ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi kawasan parlemen.

Tujuh proyek itu disebut memakai anggaran dari APBN-P 2015 dan juga anggaran tahun jamak sejak 2016 hingga 2018. Hanya saja, nilai anggaran ini sempat simpang siur. Fahri mengaku tidak tahu karena urusannya di Kesekjenan DPR. Wakil Ketua DPR Fadli Zon pernah mengatakan besarnya anggaran proyek tidak lebih dari Rp 1,5 T.

Akhirnya terungkap dari Ketua Banggar Ahmadi Noor Supit bahwa 7 proyek ini akan menelan biaya Rp 2,7 T secara multiyears. Meski belum diresmikan oleh Presiden Jokowi, sudah ada duit yang mengucur salah satunya untuk sayembara desain.

Peresmian oleh Presiden Joko Widodo ini juga sempat menjadi polemik. Sejak awal, DPR mengklaim sudah mendapat lampu hijau dari presiden. Peletakan batu pertama juga rencananya dilakukan oleh Jokowi.

Sebuah prasasti lalu disiapkan untuk ditandatangani Jokowi setelah sidang paripurna pembukaan masa sidang I 2015/2016, Jumat (14/8). Prasasti yang dimaksud bahkan sudah terpampang dengan nama dan tanggal. Permintaan resmi juga disampaikan oleh Novanto.

"Kami juga mengharapkan perkenan Presiden untuk membutuhkan tanda tangan pada prasasti sebagai tanda dimulainya pembangunan kompleks parlemen Republik Indonesia," kata Novanto dalam pidatonya.

Namun, apa yang terjadi? Jokowi jadi meninjau museum DPR, tapi prasasti yang tadinya, sudah hilang. Jokowi tidak menandatanganinya, apalagi meresmikan 7 proyek DPR.

Apa penyebabnya? Fahri Hamzah menyebut ada yang belum clear. Hingga akhirnya Wapres JK menyatakan bahwa pemerintah belum resmi menyetujui 7 proyek DPR. Seskab Pramono Anung pun menegaskan bahwa Jokowi meminta proyek itu dikaji ulang.

Arus penolakan 7 proyek DPR kemudian semakin menguat. LSM-LSM menolak pembangunan 7 proyek. Tokoh-tokoh masyarakat yaitu Mahfud MD, Adhyaksa Dault, Jaya Suprana dan Emil Salim pun menemui pimpinan DPR minta 7 proyek tak dilanjutkan. Beberapa fraksi yang dimulai dari PAN dan PD akhirnya sepakat 7 proyek dikaji lagi dengan alasan kondisi ekonomi.

Rencana masih bergulir. Tujuh proyek DPR kembali dipaparkan dalam Renstra BURT. Dijelaskan bahwa perpustakaan modern DPR akan bisa memuat 1 juta buku, museum dengan 10.000 naskah, alun-alun demokrasi yang bisa menampun 10.000 demonstran, hingga klinik modern dengan IGD dan laboratorium.

Bagaimana nasib perencanaan 7 proyek ini? Setelah sekian banyak penolakan, DPR kini fokus mematangkan 3 proyek terlebih dahulu yaitu renovasi ruangan anggota DPR, alun-alun demokrasi dan basement visitor center dengan anggaran Rp 2,08 T. Akankah anggaran itu gol di APBN 2016?



Kontroversi di DPR yang masih hangat adalah tentang kenaikan tunjangan. Awalnya, anggota DPR lewat BURT sempat mengajukan kenaikan yang lebih tinggi, namun yang disetujui oleh pemerintah lewat Menteri Keuangan hanya sebagian.

Kenaikan tunjangan anggota DPR tercantum dalam Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2015 dengan hal Persetujuan prinsip tentang kenaikan indeks tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, serta bantuan langganan listrik dan telepon bagi anggota DPR RI tanggal 9 Juli 2015. Β 

Sebagai contoh, tunjangan kehormatan untuk ketua badan yang awalnya Rp 4.460.000 sempat diusulkan naik menjadi Rp 11.150.000. Hanya saja, yang disetujui Menkeu adalah Rp 6.690.000. Setelah tunjangan naik, take home pay anggota DPR bisa mencapai Rp 60 juta/bulan.

"Itu sudah diajukan suratnya. Kita potong cukup banyak, yang akhirnya diberikan lebih jauh (dari yang) diajukan," kata Menkeu Bambang Brodjonegoro, Selasa (15/9).

Sudah disetujui dan mendapat penolakan publik, barulah suara-suara penolakan muncul juga dari berbagai fraksi di DPR. Para wakil rakyat yang menolak pun ditantang untuk mengembalikan tunjangannya. Bahkan, BURT DPR berjanji memberikan piagam penghargaan bagi yang mengembalikan. Saat itu, baru NasDem yang berani.

Usul lain disampaikan yaitu revisi SK Menkeu. Hanya saja, Menkeu menyebut SK itu hanya menetapkan batas atas, sehingga terserah DPR mau menaikkannya atau tidak.

Terakhir, DPR kembali mengoper balik keputusan itu ke pemerintah. Ketua Banggar Ahmadi Noor Supit menyebut anggarannya sudah tercantum di APBN-P 2015 sehingga hanya pemerintah yang bisa menundanya.

Lalu, apakah akhirnya kenaikan tunjangan itu masuk ke kantong anggota dewan meski ditolak?
Halaman 2 dari 4
(imk/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads