Qanun Lesbi dan Gay, dari Sanksi 'Berat' hingga Rumitnya Proses Pembuktian

Qanun Lesbi dan Gay, dari Sanksi 'Berat' hingga Rumitnya Proses Pembuktian

- detikNews
Sabtu, 27 Sep 2014 16:58 WIB
Foto: Agus Setyadi/detikcom
Banda Aceh - Ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) kembali ramai saat angka di jarum jam menunjukkan pukul 03.00 WIB dini hari. Sejumlah orang yang sedang tidur di atas kursi di dalam ruang sidang bangun. Mereka kembali duduk mengatur posisi sementara di kursi depan duduk tiga orang, yakni Ketua DPRA, Hasbi Abdullah, Wakil Ketua DPRA Tanwir dan Sekda Aceh Dermawan.

Lagu yang diputar dari alat pengeras suara di dalam ruang sidang mendadak mati saat ketiga orang ini masuk. Anggota dewan yang tadinya keluar maupun yang mengikuti musyawarah di Badan Musyawarah DPRA kembali masuk ke ruangan. Mereka duduk di kursi masing-masing yang di depannya sudah ada nama.

"Baik skor saya cabut, sidang kita lanjutkan," kata Wakil Ketua DPRA, Tanwir, sambil mengetok palu sebanyak satu kali, Sabtu (27/9/2014).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usai itu Sekretaris Dewan, Hamid Zein dipersilakan untuk membaca hasil musyawarah di Badan Musyawarah. Ia membaca satu persatu isi hasil musyawarah tersebut seperti terkait usulan di dalam qanun akan disempurnakan kembali dimasa akan datang.

Malam tadi, anggota DPRA menggelar sidang paripurna akhir terkait pengesahan tujuh Rancangan Qanun Aceh menjadi Qanun Aceh. Dari ketujuh qanun tersebut, satu di antaranya menyodot perhatian publik. Adalah Qanun Jinayat, qanun yang mengatur tentang hukuman bagi pelanggar syariat Islam di serambi Mekkah.

Dalam Qanun Jinayat, pelanggar syariat Islam akan dihukum dengan hukuman cambuk maksimal 100 kali. Kasus pelanggaran syariat Islam yang diatur dalam Qanun Jinayat berupa pelecehan seksual, perzinahan, pemerkosaan, mesum, minuman memabukkan, perjudian, lesbian, gay, dan menuduh orang lain berzina.

Meski sudah disahkan, namun tidak mudah bagi aparat penegak hukum menjerat pelaku lesbian, gay maupun zina. Pasalnya, untuk ketiga pelanggaran tersebut harus ada empat saksi yang melihat langsung perbuatan yang dilakukan pelanggar. Jika terbukti, hukuman untuk lesbian dan gay adalah cambuk maksimal 100 kali atau denda paling banyak 1000 gram emas murni.

"Terkait zina, lesbian dan gay ini tidak boleh main-main. Harus banyak melibatkan orang untuk mencari bukti. Tidak boleh sembarang menuduh mereka melakukan perbuatan itu," kata ketua Ketua Komisi G DPRA, Ramli Sulaiman, saat ditemui di gedung DPRA.

Hukuman terhadap lesbian maupun gay diatur dalam pasal 61 dan 62. Pasal 61 tentang hukuman liwat (gay) berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Liwath diancam dengan β€˜Uqubat Ta’zir paling banyak 100 (seratus) kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan".

Sementara pasal 62 tentang perbuatan musahaqah (lesbian) berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Musahaqah diancam dengan β€˜Uqubat Ta’zir paling banyak 100 (seratus) kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan".

Diterapkannya hukuman yang berat bagi pelaku hubungan sesama jenis karena perbuatan tersebut sudah mulai menggejala di tanah Rencong. Meskipun di dalam qanun sudah ada hukuman, tapi pasal tentang gay, lesbian dan zina sulit diterapkan jika tidak ada saksi-saksi melihat.

"Kalau sudah ada bukti-bukti yang cukup boleh saja ini dijalankan. Saksi dalam kasus ini harus ada empat orang," jelas Ramli.

Selain itu, polisi Syariat Aceh tidak boleh lagi menuduh pasangan muda-mudi yang diamankan sudah berbuat zina. Pada bagian lima Qanun Jinayat tentang zina dijelaskan, pasangan yang diamankan berduaan ditempat tertutup tidak boleh langsung ditetapkan sebagai pelaku zina jika tidak cukup bukti. Mereka hanya dijerat dengan pasal tentang khalwat maupun ikhtilath.

Dalam qanun tersebut dijelaskan bahawa "Khalwat merupakan perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara dua orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak".

Sementara Ikhtilath yaitu perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup atau terbuka.

Jika dalam pemeriksaan seseorang mengaku sudah berbuat zina, pengakuannya dianggap sebagai permohonan untuk dijatuhi β€˜Uqubat Zina. Pengakuan tersebut hanya berlaku bagi dirinya sendiri dan tidak berpengaruh kepada pasangannya melakukan khalwat atau ikhtilath.

Pengakuan saja belum cukup. Orang yang mengaku telah berbuat zina baru dapat dicambuk setelah bersumpah di depan hakim. Jika tidak mau bersumpah, maka perkara tersebut akan dilanjutkan dengan pemeriksaan perkara asal (Jarimah Khalwat atau Ikhtilath).

"Susah sekali mencari saksi yang melihat langsung alee lam lusong (tengah berhubungan badan- red)," kata Ramli.

Kasus tuduhan zina, gay, dan lesbian, kata Ramli, sangat berat diterapkan karena berhubungan dengan nyawa seseorang. Di dalam agama Islam, orang yang melakukan zina dihukum cambuk jika pelakunya belum menikah. Sementara jika sudah menikah, hukumannya rajam. Tapi hukuman rajam sudah di hapus di dalam Qanun Jinayat Aceh saat disahkan tadi malam.

Sebelumnya, anggota DPRA periode 2004-2009 sudah pernah mengesahkan Qanun Jinayat Aceh. Tapi urung diberlakukan karena tidak mendapat persetujuan dari Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Ia menolak qanun tersebut karena di dalamnya terdapat hukuman rajam.

"Zina ini memang berat. Allah sendiri sudah memberi peringatan kepada kita supaya jangan mendekati zina," ungkap Ramli.

Sebelum disahkan tadi malam, anggota DPRA sudah pernah menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) beberapa kali untuk menerima masukan dari masyarakat Aceh. RDPU digelar di tiga wilayah yaitu Meulaboh, Bireuen, Banda Aceh dan melalui media massa.

Selain itu, Qanun Jinayat juga berlaku bagi mereka yang beragama bukan Islam. Hal ini sebagai mana diatur Pada pasal 5 poin b dan c. Poin b berbunyi "setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan jarimah di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada Hukum Jinayat".

Sedangkan poin c berbunyi "setiap orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi diatur dalam Qanun ini".

Menurut Ramli, mereka yang beragama bukan Islam diberikan pilihan dalam memilih hukuman. Mereka dapat memilih dikenakan hukuman yang diatur dalam Qanun Jinayat atau memilih hukum pidana.

"Jadi tidak ada yang kebal hukum. Jika mereka melanggar dapat memilih apakah dikenakan qanun jinayat atau hukum pidana," kata Ramli usai mengikuti persidangan, Rabu (24/9/2014).

Menurut Ramli, meski non-muslim diberikan opsi untuk memilih hukum yang dikenakan, tapi tetap saja Qanun Jinayat yang diutamakan. Hal itu dilakukan untuk menghindari adanya yang kebal hukum.

"Karena siapapun yang berada di Aceh harus mengikuti hukum yang berlaku di Aceh," jelasnya.

(try/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads