"Tercatat yang terbesar adalah yang terjadi pada tahun 1621, 1654, 1725 dan yang paling besar adalah yang terjadi pada tahun 1918, yang merupakan akibat dari pembabatan hutan untuk perkebunan teh di Puncak. Waktu itu, banyak korban manusia dan harta benda yang lain," demikian ditulis pakar hidrologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Dr. Ir. Robert M. Delinom M.Sc yang dikutip dari artikelnya 'Bisakah Banjir Jakarta Dikurangi?' di situs lipi.go.id, Rabu (15/1/2014).
Banjir itulah, lanjut Robert, yang membuat Pemerintah Belanda membuat perencanaan untuk mencegah banjir di Batavia. Rencana pencegahan itu kemudian terkenal dengan apa yang disebut sebagai βStrategi Herman van Breenβ (1920 -1926), disebut demikian karena meneer van Breen adalah ketua tim pencegahan banjir di Batavia pada saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi saluran itu dimulai dari Manggarai terus melalui pinggir kota dan berakhir di Muara Angke. Saluran tersebut yang terkenal dengan sebutan Banjir Kanal (sekarang Banjir Kanal Barat). Kanal ini pada saat sekarang sudah tidak bisa bekerja secara optimal karena Jakarta sudah menjadi sangat luas dan tempat parkir air di hulu sudah semakin sempit.
"Aliran air menjadi semakin liar mulai dari hulu," tulisnya.
Sebenarnya strategi Meneer Breen ini masih bisa kita adopsi untuk keadaan saat ini, dengan memperhitungkan luas kota, kodisi bangunan, kepadatan penduduk, dan juga kondisi geologi Jakarta. Selama ini kalau banjir, yang selalu dipermasalahkan adalah kondisi di permukaan saja. Diskusi pencegahan banjir jarang mengikutkan kondisi geologi Jakarta yang sebenarnya punya peranan penting sebagai penyebab banjir.
Logikanya, mengapa terjadi banjir di zaman dulu di saat tutupan lahan masih bagus, bangunan masih sangat sedikit, sementara hujan (tanpa memperhitungkan perioda ulang) yang jatuh di Jakarta relatif sama dari tahun ke tahun. Mestinya ada faktor yang lain di bawah permukaan.
(nwk/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini