Seni kriya logam Tumang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB). Kerajinan dari logam itu ternyata sudah ada di Dukuh Tumang, Desa Cepogo, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, sejak ratusan tahun yang lalu.
"Dari penelusuran sejarah keberadaan seni kriya logam di Dukuh Tumang, Desa Cepogo yang dilakukan oleh tim pengabdian masyarakat Universitas Indonesia, didapatkan gambaran bahwa seni kriya logam sudah ada semenjak awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam di abad ke-16 yang dikembangkan oleh Kyai Rogosasi," jelas peneliti kebijakan pelestarian dan pengembangan industri seni kriya logam Dukuh Tumang, dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), Widhyasmaramurti, ditemui di Boyolali, Minggu (2/1/2022).
Dijelaskannya, seni kriya logam di Tumang awalnya dulu dikembangkan oleh Kyai Rogosasi. Berdasarkan tulisan ilmiah dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, Kyai Rogosasi ini sebetulnya masih keturunan Keraton Mataram. Namun kemudian hidup di luar keraton.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kyai Rogosasi datang dan menetap di Dukuh Tumang, Desa Cepogo yang berada di kaki gunung Merapi-Merbabu. Kemudian menikah di sana.
Dipilihnya Tumang sebagai padepokan Kyai Rogosasi mengembangkan seni kriya logam karena di wilayah ini sebelumnya telah menjadi tempat pengolahan logam pada masanya.
"Jadi sebelum Kyai Rogosasi ada, sebetulnya mungkin sudah mengembangkan (pengolahan logam), pengetahuan itu sudah ada. Tapi semakin berkembang setelah ada Kyai Rogosasi tersebut," jelasnya.
Semakin berkembang lagi setelah pihak Keraton mengirimkan tiga empu untuk mendampingi Kyai Rogosasi. Ketiga empu tersebut memiliki keahlian masing-masing, yaitu bidang penatahan (membuat kerajinan), desain dan administrasi.
"Pengetahuan itu diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini dan kerajinan logam Tumang berkembang hingga sekarang ini. Jadi kerajinan logam di Tumang ini sudah berkembang sejak ratusan tahun lalu," kata Widhyasmaramurti.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Kyai Rogosari dan pengikutnya yang memiliki keahlian dalam membuat senjata dan perhiasan, kemudian mengembangkan logam untuk alat rumah tangga.
"Karena saat itu tidak ada perang, kemudian dialihkan membuat kerajinan peralatan rumah tangga," terang Mawardi.
Kerajinan logam yang semula hanya untuk peralatan rumah tangga itu kemudian diwariskan secara turun-temurun. Tetapi sekitar tahun 1980 peralatan rumah tangga dari tembaga ini mulai tergusur dengan hadirnya peralatan rumah tangga berbahan aluminium produk pabrikan.
Tergusurnya peralatan rumah tangga dari tembaga inilah yang justru membikin perajin tembaga jadi lebih kreatif. Perajin kemudian mulai mengembangkan dari alat rumah tangga kepada kerajinan seperti sekarang ini. Jumlah perajin logam di Desa Cepogo saat ini mencapai 2.000 orang.
"Sekarang kerajinan logam ini sudah sangat berkembang, sepanjang bahannya dari logam insyaallah warga kami bisa," ujar Mawardi.