Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah menjadi partai terbesar di Indonesia. Salah satu tokohnya ialah Utomo Ramelan yang menjabat Wali Kota Solo di tahun 1958 hingga Oktober 1965.
Penunjukan Utomo Ramelan menjadi kepala daerah tidak lepas dari kesuksesan PKI dalam Pemilu 1955. Sebagai partai berpengaruh, pimpinan PKI, DN Aidit pun menjadi anggota DPR (1956-1959) dan Wakil Ketua MPRS (1960-1965).
"Memang saat itu PKI menjadi partai besar, apalagi DN Aidit memiliki kedekatan dengan Soekarno. Kota Solo dan sekitarnya pun merupakan basis kekuatan PKI saat itu," kata dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Waskito Widi, saat dihubungi detikcom, Sabtu (25/9/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah sumber menyebut Utomo mulanya merupakan seorang guru. Kemudian dia memilih menjadi politikus dari PKI. Sebelum menjabat wali kota, dia juga sempat menjadi anggota DPRD Solo.
"Sosok Utomo Ramelan sangat kuat dalam membangun Solo di masa itu, karena di Solo basisnya PKI juga kuat," ujar Waskito.
Dalam buku yang ditulis John Roosa, Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia (2020), disebutkan Utomo lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya seorang petinggi polisi di Solo.
"Kakaknya, Utoyo Ramelan adalah lulusan dari Leiden dan menjabat duta besar. Kakaknya yang lain, Utaryo adalah seorang dokter. Sementara kakak perempuannya, Utami adalah istri dari Kepala Staf Angkatan Udara pertama, Suryadi Suryadarma," tulis John Roosa.
Dalam menjalankan pemerintahan, Utomo tidak mengadopsi sistem komunisme seperti di negara-negara lain. Dia tidak mengambil alih aset-aset milik orang kaya.
"Orang-orang nonkomunis, seperti pengusaha batik Laweyan tetap memiliki kekuatan dan uang," tulisnya.
Pergerakan masyarakat komunis di Solo saat itu lebih banyak melalui kegiatan seni. Wayang orang hingga pemain ketoprak didominasi oleh simpatisan PKI. Di masa Utomo Ramelan, Solo menjadi tuan rumah konferensi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
"Lekra pertama kali menggelar konferensi nasional di Solo tahun 1959. Presiden Sukarno menyampaikan pidato dalam pembukaan konferensi," tulis John Roosa.
Dirikan perguruan tinggi hingga lokalisasi
Pada masanya, Utomo juga sempat mendirikan perguruan tinggi Universitas Praja Kota Surakarta (UPKS), Namun UPKS akhirnya dibubarkan karena khawatir hanya digunakan untuk mengembangkan paham sosialis/komunis.
Selain itu, Utomo Ramelan ialah sosok yang pencetus lokalisasi pekerja seks komersial (PSK) di Silir (sekarang Kelurahan Mojo). Hal ini dilihat detikcom dalam arsip koran Mingguan Surakarta yang terbit 1961 milik komunitas pegiat sejarah Muara.
Dalam arsip tersebut disebutkan lokalisasi dibuat untuk memudahkan kontrol pemerintah terhadap PSK sehingga proses rehabilitasi bisa berjalan baik. Pemkot Solo saat itu mengklaim para penghuni Silir mendapatkan layanan kesehatan berupa suntikan penisilin.
Selengkapnya di halaman berikutnya...
Mereka juga mendapatkan kursus kerajinan hingga pendidikan budi pekerti. Pemerintah juga mewajibkan mereka untuk menabung. Ada petugas dari Bank BNI yang datang ke Silir untuk mengambil uang.
Pada arsip lain, yaitu Koran Mingguan Surakarta yang terbit pada 1962, Utomo Ramelan menerima penghargaan karena bisa mengentaskan warga dari buta huruf. Dari 25.665 orang, hanya tersisa 2.335 orang yang masih belum melek huruf.
Akhir hayat Utomo Ramelan
Dalam Gerakan 30 September, Utomo Ramelan masuk dalam kelompok PKI radikal yang pro terhadap revolusi. Sementara Aidit adalah kelompok moderat yang ingin menyelamatkan PKI yang diambang kebinasaan.
Aidit pun sempat turun ke daerah untuk berbicara kepada tokoh-tokoh PKI, termasuk Utomo Ramelan. Victor M Vic dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005) menulis Aidit dan Lukman menuju ke Semarang, Boyolali. dan Solo pada 2 Oktober 1965.
![]() |
Rencana Aidit meredam kekisruhan ternyata gagal. Utomo dan kawan-kawan berkukuh mendukung Gerakan 30 September.
"Pertemuan kemudian menyetujui sebuah kebijakan baru yang diusulkan Utomo Ramelan, bahwa PKI mendukung sepenuhnya Gerakan 30 September dan tujuan-tujuannya bahwa perjuangan bersenjata harus dilancarkan untuk mendukung gerakan itu, merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai," tulis Victor M Fic yang diterjemahkan Rahman Zainuddin.
Nasib Utomo pun sama tragisnya dengan tokoh-tokoh PKI lainnya. Dia dihukum mati, namun tidak diketahui di mana makamnya.
Di arsip buku 50 Tahun Kotamadia Surakarta yang disimpan Pemkot Solo, tercatat pula nama Utomo Ramelan. Namun foto Utomo Ramelan tidak terpampang seperti wali kota lainnya.
"Oetomo Ramelan adalah satu-satunya wali kota dari partai politik. Sebagai anggota DPRD yang dicalonkan PKI yang berhasil menjadi wali kota. Tetapi dengan keterlibatannya secara langsung dalam G30S/PKI, pada tanggal 22-10-1965 diberhentikan sementara dari jabatan wali kota, sebelum akhirnya diberhentikan secara tidak hormat pada 10-11-1965," demikian keterangan pada kolom Utomo Ramelan.
Berganti ke Orde Baru, Wali Kota Solo selalu diisi atas penunjukan Presiden Soeharto. Wali Kota Solo pertama setelah reformasi ialah Slamet Suryanto dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipilih oleh DPRD Solo pada tahun 2000.
Pilkada langsung yang pertama tahun 2005 melahirkan nama Joko Widodo dari PDIP. Nama-nama selanjutnya masih didominasi oleh PDIP, yaitu FX Hadi Rudyatmo dan Gibran Rakabuming Raka.