Isu perpanjangan masa jabatan presiden hingga 3 periode muncul di tengah wacana amandemen UUD 1945. Sejumlah akademisi mengingatkan bahaya dari wacana tersebut jika terus dilancarkan.
Berikut ini penilaian dan peringatan keras dari para pakar politik terkait wacana amandemen tersebut:
Pakar UGM sebut mirip Orde Baru
Pakar politik UGM, Mada Sukmajati, menilai tak ada urgensi amandemen untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Dia tegas menyebut wacana itu tak ubahnya dengan tabiat politik Orde Baru dalam memandang kekuasaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pembatasan masa jabatan dua periode ini dulu semangatnya untuk membatasi kekuasaan karena trauma kita pada Orde Baru karena tidak ada pembatasan kekuasaan. Kok ini malah tiga periode kurang perpanjang lagi jadi empat, sama saja dengan Orde Baru dulu. Jadi nggak berbeda," tegasnya, Kamis (2/9)
Awas! Kudeta Demokrasi!
Mada juga tegas menyebut isu amandemen sebagai upaya kudeta terhadap proses demokrasi saat ini. Hal itu menurutnya sangat berbahaya dan bisa menyebabkan prahara politik di Indonesia.
"Kalau anggota DPR, DPD tetap melakukan amandemen untuk melayani kepentingan segelintir orang maka yang terjadi adalah kudeta demokrasi. Dan saya kira itu juga akan membawa kembali gonjang-ganjing politik di Indonesia dan tuntutan untuk reformasi bisa kembali terulang," ungkapnya.
Mada memaparkan, amandemen itu perlu diwacanakan dulu, apa saja yang akan diamandemen sehingga publik bisa ikut berpartisapasi dalam proses amandemen.
"Jadi nggak bisa amandemen tapi agendanya disembunyikan, kemudian sama sekali terpisah dari wacana publik, berarti kudeta administrasi itu yang terjadi oleh para elite," tegasnya.
Selanjutnya: tudingan status quo hingga potensi KKN makin besar
Pakar Undip: ulah kelompok status quo!
Analis politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wahid Abdulrahman sebut sekelompok elite sedang melakukan sound check. Jika suara dukungan besar, maka akan berlanjut dengan sound system yang lebih besar.
"Mereka adalah kelompok status quo yang mengharapkan stabilitas kekuasaan karena benefit yang selama ini telah diperoleh. Memperpanjang masa jabatan presiden, DPR, DPD, MPR akan melipatgandakan manfaat yang diperoleh tanpa harus berjuang melalui Pemilu 2024," kata Wahid saat dihubungi detikcom, Kamis (3/9).
Maka saat ini dia menilai Presiden Jokowi yang menjadi penentu. Namun Jokowi yang kental dengan psikologi politik pemimpin Jawa, sosok inspiratif, dan bahkan mau mendengar lawan politik, kini sosok yang sulit ditebak.
Makin lama berkuasa makin besar potensi KKN-nya
Pakar hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto, menyebut ada sejumlah bahaya jika amandemen perpanjangan masa jabatan presiden dilakukan. Salah satunya ialah potensi korupsi, kolusi dan nepotisme yang semakin besar.
"Boleh jadi ini akan memampatkan generasi. Demokrasi itu kan regenerasi suksesi sehingga muncul pemimpin baru. Yang dikhawatirkan akan muncul KKN. Makin lama berkuasa, maka potensi KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) akan semakin besar," kata Agus saat dihubungi detikcom, Kamis (2/9).
Menurutnya pembatasan kekuasaan merupakan ruh dari reformasi 1998. Jika pembatasan dibuka, dia menilai Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru.
"Reformasi 98 itu muncul atas keinginan pembatasan kekuasaan agar tidak terjadi seperti orde baru. Kalau sekarang tiga periode, ya kembali seperti orde baru. Ruh dari reformasi adalah pembatasan kekuasaan," ujarnya.