Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar melakukan pelanggaran kode etik berat terkait kasus Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menilai putusan Dewas KPK terlalu lembek.
"Putusan Dewas KPK terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli sangat lembek," kata Zaenur Rohman melalui pesan singkat kepada wartawan, Senin (30/8/2021).
Zaen menilai, perbuatan Lili yakni berhubungan dengan pihak yang berperkara dengan KPK merupakan pelanggaran berat kode etik KPK. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Huruf b dan a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 02 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dewas hanya menjatuhkan sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan. Sanksi ini sangat ringan, apalagi hanya pemotongan gaji pokok," sebutnya.
"Jadi potongan gaji pokok tidak banyak berpengaruh terhadap penghasilan bulanan," ucapnya.
Zaen menegaskan, sanksi yang layak didapatkan Lili Pintauli Siregar adalah diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 4 huruf b Perdewas 02/2020.
"Lili tidak pantas lagi menjabat sebagai pimpinan KPK karena telah menyalahgunakan kewenangan yakni berhubungan dengan pihak berperkara," urainya.
"Bahkan perbuatan ini tidak hanya melanggar kode etik, tetapi merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU 30/2002 jo Uu 19/2019 tentang KPK. Pasal ini melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak berperkara dengan alasan apapun," tambahnya.
Zaen menguraikan, menurut Pasal 65 UU KPK, pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam pidana maksimal 5 tahun penjara.
"Mengapa berhubungan dengan pihak berperkara menjadi perbuatan terlarang di KPK? Karena dapat menjadi pintu masuk jual beli perkara atau pemerasan oleh insan KPK. Misalnya yang pernah dilakukan eks penyidik KPK Suparman atau eks penyidik KPK Robin," jelasnya.
"Perkara juga menjadi rawan bocor kepada pihak luar jika ada hubungan antara insan KPK dengan pihak berperkara. Sehingga KPK akan sulit menangani perkara tersebut, bahkan perkara bisa berujung gagal ditangani," sambungnya.
Selanjutnya: Putusan Dewas disebut bisa berakibat buruk bagi KPK...
Putusan Dewas KPK ini, kata Zaen, bisa berakibat buruk bagi KPK. Pertama, akan semakin menggerus kepercayaan publik terhadap KPK.
"Ternyata nama-nama besar yang duduk di Dewas tidak menjamin akan menerapkan prinsip zero tolerance terhadap pelanggaran di internal KPK," bebernya.
Kedua, putusan Dewas ini menunjukkan sikap permisif dan toleran di internal KPK.
"Ke depan insan KPK tidak akan terlalu takut lagi melakukan pelanggaran, karena Dewas tidak keras terhadap pelanggaran," katanya.
Ia pun berharap, ada pihak-pihak yang bersedia melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum
"Terakhir, harapannya ada pihak masyarakat yang bersedia melaporkan dugaan pelanggaran pasal 36 UU KPK kepada APH untuk diproses secara pidana," pungkasnya.
Sebelumnya, Dewas KPK menyatakan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar melanggar kode etik dalam kasus Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial. Dewas menilai Lili melakukan kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak berperkara.
"Mengadili satu menyatakan terperiksa Lili Pintauli Siregar bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa menyalahgunakan pengaruh selaku pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK yang diatur dalam Pasal 4 ayat 2 huruf b dan a, Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 tahun 2020 tentang penegakan kode etik dan pedoman perilaku KPK," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean saat konferensi pers, Senin (30/8).
Tumpak menerangkan Lili juga disanksi berat berupa pemotongan gaji pokok 40 persen selama 12 bulan.
"Menghukum terperiksa dengan sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan," ungkapnya.