Belakangan marak mural hingga menjadi kontroversi. Kini, mural-mural yang mayoritas berisi curhat ataupun kritik saat pandemi itu dihapus oleh aparat setempat. Seperti mural di Jakarta, Tangerang, dan terbaru di Yogyakarta.
Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati pun ikut merespons maraknya penghapusan mural itu. Ia menilai pemerintah tidak konsisten menghapus mural.
Sebab, yang dihapus merupakan mural yang memiliki muatan tertentu. Padahal, kata Mada, mural merupakan bagian dari mengekspresikan diri dan selama ini tersebar di beberapa penjuru wilayah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah yang terkait dengan penghapusan, saya kira kalau memang itu aturannya ada di Perda, atau bahkan mungkin Undang-Undang saya kira perlu konsisten. Kalau mau dibersihkan ya harusnya dibersihkan semuanya. Tidak hanya mural dengan isi atau konten tertentu saja yang mungkin dianggap kritis terhadap pemerintah," kata Mada saat dihubungi wartawan, Senin (23/8/2021).
Mada melihat sikap pemerintah yang inkonsisten. Hal ini membuat masyarakat menganggap pemerintah saat ini anti kritik.
"Saya kira memang dikritik itu memang tidak enak, tidak nyaman, tapi nggak boleh apalagi sebagai penguasa atau pemerintah yang itu adalah hasil pilihan rakyat jadi nggak boleh anti kritik gitu," urainya.
"Tetapi ini semua harus direspons secara konsisten oleh pemerintah. Masak yang kritik nggak boleh, (mural) yang memuji boleh itu kan nggak konsisten namanya itu," tambahnya.
Ia meminta kepada pemerintah agar menyikapi mural ini biasa saja. Tidak usah terlalu berlebihan. Apalagi menimbulkan kesan seperti memberangus kritik.
"Kritik itu adalah keniscayaan sistem politik yang demokratis dan penyikapannya juga harus biasa saja. Tidak perlu terlalu lebai atau berlebihan diberangus dan sebagainya," tegasnya.
Dikatakan Mada, mural-mural yang merupakan ekspresi kritik dari masyarakat ini tidak mungkin bisa dibendung.
"Ini hanya masalah waktu saja pihak-pihak yang membersihkan itu sanggup melakukannya. Pasti kalau sudah memang tidak bisa dibendung ya, masa anggaran APBD mau dipakai untuk beli cat hanya nutupi itu aja nggak mungkin," katanya.
Mada mengingatkan agar pemerintah tidak naif dan sibuk mengurusi mural. Sementara kondisi Indonesia saat ini masih dilanda pandemi. Dan menurut Mada penanganan pandemi jauh lebih penting.
Selengkapnya di halaman selanjutnya...
"Jadi naif juga kalau fungsi pemerintahan hanya sibuk dengan masalah-masalah seperti ini. Masih banyak hal lain yang perlu diseriusi oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Soal penanganan COVID-19, ekonomi itu jauh lebih urgent daripada ngurusi mural-mural seperti ini. Saya yakin mau dikekang seperti apa tetap nggak bisa namanya ekspresi kok," ujar Mada.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah melihat fenomena ini secara proporsional. Bisa jadi, kata dia, karya mural yang berisi kritik itu menggambarkan kondisi nyata di lapisan masyarakat bawah.
"Misalnya kata-kata Tuhan saya lapar itu kan menurut saya itu bisa jadi menunjukkan situasi riil. Dari situ kemudian bisa menjadi masukan bagi pemerintah dengan Kementerian Sosial (lewat) bansos itu, yang kurang tepat sasaran, datanya masih amburadul dan seterusnya ya ini harus menjadi masukan juga untuk yang dikritik gitu," pungkasnya.