Pengajar Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie mengungkap ada sejumlah regulasi yang tumpang tindih terhadap sektor industri kretek. Regulasi ini bahkan menghambat perkembangan sektor hulu sampai hilirnya.
"Masih ada banyak aturan baik level produk legislasi parlemen sampai peraturan pelaksana, juga peraturan otonom di tingkat daerah saling berbenturan dalam mengatur industri kretek ini," kata Gugun saat berbicara dalam seminar 'Konspirasi Global Penghancuran Kretek Indonesia' di Kampus UIN Yogyakarta yang juga disiarkan secara daring, Senin (31/5/2021).
Seminar ini digelar dalam rangka menyambut Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh pada hari ini. Gugun membeberkan jika hingga saat ini belum ada UU sektoral yang memayungi persoalan industri kretek ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, sektor industri kretek masih diatur dalam banyak regulasi. Seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Kemudian ada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mengatur sisi budidaya tanaman tembakau.
"Industri kretek yang sifatnya unik dan strategis dalam bingkai ekonomi kerakyatan harus memiliki undang-undang tersendiri yang bersifat lex specialis," jelas Gugun.
Beberapa peraturan pelaksana di antaranya yang dimaksud yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP tersebut merupakan amanat dari UU Kesehatan. Ia melihat ada beberapa regulasi yang justru tidak tepat. Salah satunya soal dana bagi hasil cukai tembakau.
"Yang justru tidak tepat adalah muncul regulasi di tingkat Kementerian Keuangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang mengatur dana bagi hasil cukai tembakau (DBH CHT)," sebutnya.
"Tidak tepat karena UU Cukai yang mengatur DBH CHT, tidak diatur melalui Peraturan Pemerintah yang melibatkan banyak lembaga atau kementerian," sambungnya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya Malang, Imanina Eka Dalilah menyoroti kontribusi Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam perekonomian nasional.
"IHT merupakan satu-satunya industri nasional yang saat ini terintegrasi dari hulu sampai hilir," kata Imania.
Imania berpendapat, IHT saat ini memiliki peran signifikan dari penyediaan input produksi, pengolahan, hingga proses distribusinya. Termasuk kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja.
"IHT memberikan kontribusi yang signifikan bagi penerimaan nasional," ungkap Imanina.
"Total penyerapan tenaga kerja tersebut, sebanyak 2,9 juta merupakan pedagang eceran, 150 ribu merupakan buruh pabrikan rokok, 60 ribu karyawan pabrik, 1,6 juta petani cengkeh dan 2,3 juta petani tembakau," sambung Imanina.
Lihat juga video 'Bea Cukai Jambi Bongkar Penyelundupan 107 Koli Rokok Ilegal':
Selengkapnya rokok kretek berpotensi jadi barang ekspor di halaman selanjutnya..
Beberapa wilayah di Indonesia memiliki ketergantungan yang cukup besar pada industri tembakau. Terutama untuk serapan tenaga kerja.
"Mayoritas buruh pabrik rokok adalah perempuan sebesar 66 persen. Persentase tersebut merupakan proporsi tertinggi di sektor industri manufaktur," kata Imanina menegaskan.
Kretek, menurut Imanina, bisa dikenalkan ke luar negeri sebagai bagian dari warisan budaya. Selain itu, ekspor tembakau juga berpotensi memberikan sumbangan devisa untuk negara.
"Jadi pemerintah bisa memberikan insentif untuk mendorong ekspor IHT yang mana selain produk Indonesia yang diperkenalkan di luar juga dengan insentif yang diberikan kepada ekspor IHT. Ini bisa memberikan sumbangan devisa juga dan itu akan menguntungkan bagi penerimaan negara kita juga," pungkasnya.