Masyarakat yang tinggal di lereng Gunung Merapi tentu akrab dengan tradisi Labuhan Merapi. Tradisi ini digelar Keraton Yogyakarta Hadiningrat dalam rangka memperingati tingalan jumenengan dalem atau ulang tahun kenaikan takhta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Prosesi dimulai dari petilasan rumah Mbah Maridjan, juru kunci Merapi terdahulu, di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan. Pada labuhan tahun ini sedikit berbeda karena aktivitas Merapi masih tinggi dan adanya pandemi COVID-19.
Iring-iringan para abdi dalem keraton mulai bergerak menuju lokasi labuhan di Bangsal Sri Manganti yang terletak di Pos 1 Merapi pukul 06.41 WIB. Di lokasi itulah ubarampe (sesaji) dilabuh setelah selama satu malam di semayamkan di Kinahrejo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ubarampe tersebut berupa kain yakni sinjang cangkring, sinjang kawung kemplang, semekan gadhung, semekan gadhung melati, semekan banguntulak, kampuh poleng ciut, dhestar daramuluk, paningset udaraga. Masing-masing satu lembar.
Ubarampe itu dimasukkan dalam peti berwarna merah dengan ukuran sekitar 30 x 15 sentimeter. Setibanya di Sri Manganti, dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh Juru Kunci Merapi Mas Wedana Suraksohargo Asihono atau akrab dipanggil Mas Asih.
"Labuhan tahun ini prosesnya sama seperti tahun lalu," kata Mas Asih saat ditemui sebelum keberangkatan labuhan di petilasan Mbah Maridjan, Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Senin (15/3/2021).
Hanya saja, dengan kondisi Gunung Merapi yang berstatus Siaga, peserta labuhan dibatasi. Pembatasan itu juga karena masih ada pandemi Corona sehingga hanya 30 orang yang diperbolehkan naik hingga Sri Manganti.
"Hanya pada tahun ini karena Merapi (statusnya) Siaga dan ada pandemi Corona, maka yang naik dibatasi hanya 30 orang, jadi kami mohon pengertiannya," jelasnya.
Lihat juga video 'Gunung Merapi Luncurkan Awan Panas':