Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof Sigit Riyanto meminta pimpinan UGM segera menyelesaikan kasus dugaan plagiasi pada disertasi yang disusun oleh Rektor Unnes, Fathur Rokhman. Jika terbukti maka harus gelar doktor yang sudah diberikan harus ditarik kemballi.
"Kalau gelar diperoleh dengan cara-cara yang terbukti plagiat ya memang harus dicopot (gelarnya), dan itu berlaku kepada siapa saja. UGM sudah punya best practices-nya," kata Sigit saat dihubungi detikcom, Senin (24/2/2020).
"Dulu pernah ada tesis S2 dipatahkan, bahkan ada disertasi S3 dipatahkan juga dan gelarnya dicabut pada tahun 2000," lanjut Sigit.
Dia menyontohkan pada Maret tahun 2000, UGM pernah mencabut gelar doktor Ipong S Azhar. Disertasi karya Ipong yang diterbitkan menjadi buku berjudul 'Radikalisme Petani Masa Orde Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah' pada pertengahan 1999 ternyata terbukti menjiplak karya peneliti LIPI, Mochammad Nurhasim.
Karena itu, Sigit mendesak UGM sesegera mungkin mengeluarkan keputusan terkait penanganan kasus dugaan plagiasi oleh Fathur Rokhman. Menurutnya, hal itu agar tidak ada interpretasi negatif di masyarakat.
"Yang penting lagi UGM harus memutuskan supaya tidak ada menimbulkan interpretasi yang liar di dalam masyarakat. Jadi lebih cepat diputuskan saya kira lebih baik ya, jadi ada kepastian," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak Video "'Perlawanan' Dosen Unnes yang Di-skors karena Postingan soal Jokowi"
Sigit juga memberi alasan kuat terkait perlunya sanksi pencopotan gelar jika terbukti plagiat. Menurutnya, plagiat sebenarnya adalah tindakan yang melanggar etika, melanggar standar mutu dan melanggar proses akademik.
Namun, jika terdapat aturan Undang-Undang yang mengaturnya, hal itu bisa dikategorikan juga sebagai pelanggaran hak cipta. Misalnya, seseorang menjiplak buku yang sudah diterbitkan dan ditulis oleh seseorang maka bisa jadi orang tersebut dikenakan pelanggaran kepada hak cipta bahkan terkena sanksi pidana.
"Tapi kalau kaitannya dengan memperoleh gelar maka setidak-tidaknya melanggar etika akademik, melanggar standar mutu akademik dan melanggar proses akademik yang akuntabel," katanya.
"Lalu di dalam praktiknya, di negara mana pun juga termasuk di UGM, pelanggaran terhadap etika akademik, kejujuran akademik, proses akademik dan standar standar merupakan pelanggaran berat sehingga dijatuhi sanksi yang relevan atau berat juga," imbuh Sigit.
Seperti diketahui, pada 27 November 2019 lalu Dewan Kehormatan Universitas Gadjah Mada meminta klarifikasi Fathur Rokhman terkait dugaan plagiat disertasi yang ditulis Fathur sewaktu menempuh studi di UGM. Klarifikasi itu merupakan tindak lanjut dari surat aduan yang dilayangkan seseorang ke UGM pada 23 Oktober 2018 lalu. Laporan itu menyebutkan disertasi yang disusun Fathur diduga hasil plagiat.
Proses klarifikasi berlangsung tertutup di Gedung Pusat Balairung UGM. Kendati dalam pertemuan itu belum diambil keputusan, saat itu Ketua Senat Akademik UGM, Hardyanto mengatakan, bahwa ada indikasi kesamaan disertasi Fathur dengan karya lain.
"Ada (kesamaan disertasi Fathur dengan skripsi mahasiswanya). Tapi kesamaan itu belum tentu plagiat. Kalau itu muridnya ya memang tugasnya murid itu meniru gurunya. Cuma berapa persen? Kalau kesamaannya 90 persen, ya plagiat namanya. Tapi kan ini belum tahu saya," jelas Hardyanto, waktu itu.