Lembaga anak-anak PBB United Nations Children's Fund (UNICEF) Indonesia turut menyoroti kasus klitih atau kekerasan jalanan yang melibatkan anak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebab, Kota Yogyakarta dalam proses mengejar predikat Kota Layak Anak (KLA) Utama Indonesia dan masuk Child-Friendly City Initiatives (CFCI) yang dibentuk 80 wali kota sedunia tahun 2020.
Hal itu disampaikan Kepala Perwakilan UNICEF Pulau Jawa, Arie Rukmantara, saat ditemui seusai acara Rembuk Warga 'Kolaborasi Menuju Jogja KLA Istimewa' di Yogyakarta. Menurutnya, maraknya aksi klitih cukup berisiko bagi penilaian Kota Yogyakarta untuk mengejar KLA.
"Kota Yogyakarta mengejar KLA dari pemerintah RI pada Hari Anak Nasional dan di internasional CFCI akhir tahun nanti di forum wali kota dunia. Akan menjadi risiko untuk mengurangi nilai kalau tidak ketemu solusinya," kata Arie, Kamis (6/2/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Namun Arie menyebut penilaian KLA tidak sebatas melihat jumlah kasus klitih yang marak terjadi ini. Tapi lebih kepada bagaimana cara penanganan oleh pemerintah setempat.
"Diukur adalah cara penyelesaiannya. Misal satu kasus diselesaikan dalam beberapa hari, kalau sistem bagus bisa 7 jam, 24 jam. Itu yang menunjukkan apakah Kota Yogyakarta bisa masuk KLA, dilihat dari cara menanganinya, cepat, efisien, dan efektif," katanya.
"Lihat prosesnya, rembuk, jaring ide dari anak-anak. Katanya akan ada deklarasi anti klitih, itu yang diapresiasi, nilainya di situ," lanjutnya.
Menurutnya, kekerasan jalanan mungkin saja masih akan terjadi. Tapi proses masyarakat terutama anak-anak yang bereaksi secara positif yang akan menjadi penilaian.
"Penilaian tidak pakai indikator angka kasus, misal ada 200 kejahatan tapi ada respons seribu anak yang anti (kejahatan), itu yang dinilai reaksi seribu anak itu. Di Yogya komunitas sangat kuat, gerakan sosial, banyak yang bisa untuk menyuarakan," paparnya.
Simak Video "Banyak Kafe Kekinian, Kuliner Tradisional di Yogya Terancam?"
Arie juga menyinggung topik klitih ramai di media sosial. Termasuk tagar #DIYdaruratklitih yang sempat menjadi trending di Twitter.
"2-3 hari lalu sempat trending tagar #DIYdaruratklitih, justru itu suara yang konsen dan prihatin, yang nggak mau ada klitih di Yogya," ujarnya.
Dari pengamatannya, sesuatu yang trending di media sosial akan dimulai dengan hal-hal yang bernada negatif. Namun setelah itu akan muncul gerakan untuk bereaksi positif. Apalagi, sebut Arie, pelaku kriminal adalah bagian kecil dari penduduk di suatu wilayah.
"Di medsos biasanya negatif dulu, setelah itu muncul gerakan anti negatifnya, dan itu biasanya nanti (persoalan) selesai. (Jadi) Pertama marah, (lalu muncul) gerakan, dan solusi," jelasnya.
Arie menambahkan dari Google Analytics akun media sosial anak di Yogyakarta, lebih banyak yang memilih untuk kegiatan positif dan tidak suka kekerasan.
"Kami yakin kalau terus bergaung (perlawanan terhadap klitih atau kekerasan jalanan di medsos atau gerakan di lapangan), akan muncul tagar bebas klitih, bebas kekerasan," kata Arie.
"Dari sekitar 300 ribu anak Kota Yogyakarta, lebih banyak yang saat ini memiliki kegiatan positif dan tidak suka kekerasan," lanjutnya.