Pontjopangrawit, Pejuang yang 'Hilang' di Hari Pahlawan

Pontjopangrawit, Pejuang yang 'Hilang' di Hari Pahlawan

Bayu Ardi Isnanto - detikNews
Minggu, 10 Nov 2019 15:04 WIB
Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom
Solo - Nama Pontjopangrawit menjadi legenda di kalangan pelaku seni karawitan atau musik gamelan. Bukan hanya karena kelihaiannya bermain gamelan, namun juga karena ikut berjuang melawan Belanda.

Lahir dengan nama Slamet Soekari pada 1893, Pontjo sejak kecil mengabdi pada Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pengrawit atau pemain gamelan. Saat dewasa, dia memperoleh gelar 'Raden' dan berubah nama menjadi Pontjopangrawit.

Berusia 20-an tahun, Pontjo mulai aktif dalam kegiatan politik. Meski seorang priayi keraton, dia bergabung ke kelompok kiri. Pontjo memiliki pemikiran keras untuk melawan kolonialisme.

"Beliau punya kesadaran kritis terhadap nasib wong cilik. Ideologinya berbeda dengan organisasi priayi Kasunanan, Narpawandawa dan Boedi Utomo, yang relatif kurang 'galak'," kata sejarawan Surakarta, Heri Priyatmoko, Minggu (10/11/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memang tidak wajar ketika seorang priayi istana bergabung dengan kelompok kiri. Kata Heri, hampir tidak ada priayi istana yang ikut kelompok tersebut.

"Karena aktivitas politiknya, Pontjo dibui di Boven Digoel (sebuah tempat pengasingan di Papua) sekitar tahun 1930. Saat itu politik kolonial begitu represif," ujar dosen Sanata Dharma Yogyakarta itu.

Selama di Digoel, Pontjo tak berhenti bermusik. Karena tak ada gamelan, dia membuat sendiri gamelan dari kaleng-kaleng bekas.

"Dia mampu membuat gamelan dari trontong (kaleng) saat dibui di Digoel. Gamelan itu kini disimpan di sebuah museum di Australia," ujar Heri.

Setelah dibebaskan, Pontjo kembali aktif mengabdi di bidang karawitan. Dia mengajar di Koservatori Karawitan (Kokar) Indonesia yang menjadi cikal bakal SMKN 8 atau SMKI, kemudian mengajar di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) yang menjadi cikal bakal Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Tak hanya ahli memainkan gamelan, dia juga dikenal sebagai komposer andal. Konon dia bisa memainkan alat musik dengan cara unik, seperti bermain rebab dengan cara terbalik.

Namun karena keterlibatannya dengan kelompok kiri, Pontjo hilang pada tahun 1965. Dikabarkan dia hilang tepat pada 10 November 1965.

"Dia merupakan anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang tidak aktif. Meski tidak aktif, orang periode itu mudah sekali kena sapu bersih militer, apalagi dia punya catatan hitam pernah dibuang di Digoel," kata Heri.

Semasa hidup, Pontjo tinggal di Kampung Gurawan yang kini masuk wilayah Kelurahan Pasar Kliwon, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo. Sudah hampir tak ada warga yang mengenalnya.

Sesepuh Kampung Gurawan, Mbah Sairul, mengaku masih ingat dengan Pontjopangrawit. Rumah Pontjo tak jauh dari rumah Sairul, yakni di Jalan Kelono.

Namun kini tak ada yang tersisa dari rumah Pontjo karena telah berpindah tangan. Menurut warga, rumah Pontjo sudah lama menjadi tanah kosong dan kini dibangun menjadi rumah. Tak ada yang tahu di mana anak cucu Pontjo saat ini.

Sairul mengacungkan jempol ketika ditanya permainan gamelan Pontjo. Tak jarang musik yang dimainkan Pontjo menjadi pengantar tidur warga sekitar.

"Kalau malam-malam itu kadang terdengar dari rumah, suaranya enak sekali, didengar sambil tiduran," ujar Sairul yang usianya diperkirakan sudah 90-an tahun.

Bahkan dia ingat tentang gamelan kaleng buatan Pontjo. Meski dari kaleng, suaranya tak kalah dengan gamelan asli. Selain sebagai pemain gamelan, Pontjo juga dia ingat sebagai pejuang kemerdekaan.

"Dia buat gamelan dari trontong, dikasih pasir. Suaranya bagus sekali. (Selain sebagai pengrawit) saya juga ingat Pak Pontjo itu pejuang," katanya.
Halaman 2 dari 3
(bai/bgs)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads