"Kami mengimbau kepada Kementerian Kesehatan untuk merevisi peraturan (permenkes) tersebut. Karena secara sosiologis merugikan masyarakat dan sangat membahayakan masyarakat," kata Ketua Arsamu, Slamet Budiarto, kepada detikcom di Yogyakarta, Selasa (8/10/2019).
Slamet mengatakan, berdasarkan permenkes itu, pelayanan hemodialisis hanya tersedia di rumah sakit (RS) tipe A dan B, kemudian dokter subspesialis tidak boleh di RS tipe C dan D. Lalu dokter spesialis tertentu tidak boleh di RS tipe C dan pelayanan medik spesialis lain tidak ada di RS tipe D.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Slamet menyebut Persyarikatan Muhammadiyah dirugikan dengan terbitnya Permenkes Nomor 30 Tahun 2019. Apalagi dari 114 rumah sakit 'Aisyiyah-Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia, tidak ada yang bertipe A. Hanya enam yang bertipe B, sisanya adalah tipe B dan C.
"Sehingga (Rumah Sakit 'Aisyiyah-Muhammadiyah) sebagian besar terkena dampak ini, dan kami hanya diberi waktu satu tahun (untuk naik kelas ke tipe di atasnya). Kalau persyaratan alat kesehatan mungkin kami bisa beli, tapi kan persyaratan SDM (sulit dipenuhi)," ungkapnya.
Jika permenkes itu tak direvisi, Slamet khawatir RS yang tidak memenuhi ketentuan di Permenkes Nomor 30 Tahun 2019 akan mengenakan PHK secara massal ratusan tenaga medis dan ribuan pegawainya. Pihaknya juga khawatir RS milik Muhammadiyah kesulitan dalam mengembangkan pelayanannya.
"(Ketentuan di permenkes) itu sangat merugikan rumah sakit Muhammadiyah, padahal kami sifatnya rumah sakit nirlaba. Semua sisa hasil usahanya digunakan untuk dakwah dan masyarakat," pungkas Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia itu.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini