- Tim relawan gabungan harus berjibaku dengan medan sulit untuk memadamkan api kebakaran hutan di lereng Gunung Slamet. Seorang kakek bernama Sumodiharjo (75) menjadi salah seorang di antaranya yang harus mendaki selama 10 jam untuk menjangkau titik api.
Meskipun umurnya tidak lagi muda, Sumo tak surut semangat untuk bergabung dalam tim gabungan kebakaran hutan Gunung Slamet.
Kakek Sumo, yang tinggal di ujung Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan lereng Gunung Slamet, mendapatkan informasi kebakaran pada Sabtu (21/9) sekitar pukul 19.00 WIB. Dia diminta menjadi penunjuk jalan tim kedua yang akan melakukan pemadaman api.
"Saya diminta Pak RT mendadak untuk menjadi penunjuk jalan tim kedua. Saya langsung mengiyakan saja," kata kakek Sumo kepada wartawan setelah mencari rumput untuk ternaknya tak jauh dari rumahnya, Rabu (25/9/2019).
Malam itu juga, Sumo menjadi satu-satunya anggota tertua tim pemadam kebakaran hutan Gunung Slamet yang berjumlah 30 orang dari unsur TNI, Polri, dan warga lokal. Dua di antaranya merupakan anaknya, yakni Sukun dan Kasirun. Dia memutuskan berangkat agar warga lokal yang masih muda juga mau ikut naik.
"Saya berangkat sekitar pukul 12 malam, sampai sekitar pukul 10.00 WIB, perjalanan 10 jam, itu baru sampai Pos 8, belum sampai ke lokasi kebakaran, tapi api sudah kelihatan," ucap kakek yang mempunyai sembilan cucu ini.
Sebelum memulai perjalanan tersebut, dirinya sudah mempersiapkan 'candung' atau sejenis sabit yang membantunya dalam upaya meminimalkan penyebaran api. Dari total 31 anggota tim, hanya tujuh orang warga lokal yang berhasil mencapai lokasi, termasuk dirinya.
"Banyak yang saya tinggal, kalau
nungguin mereka terlambat. Saya sempat
nunggu lama di Pos 2, dari keringatan sampai kedinginan," ujarnya.
"Dulu sering naik ke hutan, biasanya
nyari burung dan pakis tiang," ucapnya.
Maklum saja, jalur pendakian menuju puncak Gunung Slamet melalui Baturraden dikenal sebagai jalur tersulit dan terjal, dengan kontur yang sangat ekstrem. Bahkan, berdasarkan informasi, kondisi ekosistem yang ada di Baturraden terbilang masih lengkap dan terjaga.
Saat mereka tiba di lokasi kebakaran, lanjut Sumo, ternyata lahan yang terbakar cukup luas. Lahan tersebut berisi pohon-pohon kering yang sudah tumbang termakan usia dengan jumlah bermeter-meter kubik dan sebagian pohon-pohon besar serta padang savana.
Dia bersama rekannya langsung membuat sekat bakar. Dia diminta memilih menangani salah satu lokasi kebakaran di sisi sebelah mana, hingga akhirnya dia sendiri membuat sekat bakar dengan lebar 3 meter dan panjang kurang-lebih 2 kilometer.
"Saya hanya buat sekat, tidak berani memadamkan dengan ranting pohon, karena apinya besar. Kalau kena angin, tingginya bisa melebihi saya. Bahkan sisa kebakaran sempat saya injak-injak pakai sepatu juga susah sekali padamnya," jelasnya.
"Setelah sampai, baru membayangkan
gimana pulangnya harus melewati tiga punggungan," tuturnya.
Hingga akhirnya, setelah bekerja seharian, tim berikutnya tiba, dan dirinya bisa kembali turun.
"Hari itu saya kerja cuma makan sekali, saya kan bawa dua bungkus nasi, satu dimakan saat perjalanan malam hari, satunya dimakan paginya. Habis itu cuma minum saja sampai pulang," tuturnya.
Salah seorang anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Gempita Desa Ketenger, Rasim, menambahkan warga setempat masih sangat menjaga kelestarian Gunung Slamet.
"Warga sini sudah biasa naik-turun gunung. Kalau ada kebakaran, orang Perhutani pasti minta bantuan ke sini, warga sini semangatnya luar biasa untuk melestarikan alam di sekitar gunung," ucapnya.
Sementara itu, berdasarkan informasi dari Tim 8 di lembah Singadimeja pada Selasa (24/9) malam, sudah ada empat titik api yang bisa dilokalisir. Sedangkan satu titik api sudah bisa dipadamkan dengan cakupan luas yang terbakar sekitar 20-30 hektare.