Kepala BPPTKG, Hanik Humaida mengatakan, bahwa awan panas kali ini didahului dengan letusan gas, sehingga disebut sebagai awan panas letusan (APL). Menurutnya, hal itu berbeda dengan awan panas guguran (APG) yang biasa terjadi sejak tanggal 29 Januari 2019.
"APG disebabkan oleh runtuhnya material kubah lava baru secara gravitasional atau tanpa kecepatan awal yang signifikan. Sedangkan pada APL, runtuhnya material kubah lava akibat dari tekanan gas dari dalam," katanya dalam keterangan tertulis kepada wartawan Minggu (22/9/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, adanya peningkatan tekanan gas ini dapat terdeteksi oleh stasiun pemantauan. Di mana sari pukul 00:00 sampai dengan pukul 12:00 terjadi 29 kali gempa MP dan 14 kali gempa hembusan, jumlah gempa MP dan hembusan ini tergolong tinggi yang merepresentasikan peningkatan tekanan dan intensitas pelepasan gas vulkanik.
Menurutnya, hal tersebut konsisten dengan data pemantauan suhu kubah lava sekitar 1 jam menjelang letusan yang menunjukkan adanya kenaikan suhu pada beberapa titik pada kubah lava sekitar 100 derajat celsius. Sedangkan data pemantauan menurun dan tenang kembali setelah kejadian APL sampai dengan saat ini.
"Baik APG maupun APL, keduanya masih akan terjadi karena suplai magma masih berlangsung yang ditunjukkan oleh masih terjadinya gempa-gempa dari dalam, seperti gempa VTA, VTB dan MP dalam jumlah yang signifikan," ucapnya.
Kendati demikian, ancaman bahaya yang dapat ditimbulkan dari aktivitas erupsi saat ini masih sama dengan sebelum-sebelumnya, yaitu luncuran awan panas dan lontaran material erupsi di dalam radius 3 kilometer dari puncak Gunung Merapi
"Hasil pemodelan menunjukkan jika kubah lava saat ini (461.000 m3) runtuh, luncuran awan panas tidak melebihi radius 3 km. Karena itu, masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa," ucapnya.
Halaman 2 dari 2











































