Pantauan detikcom, di bawah Jembatan Sungai Ngalang, Dusun Plosodoyong, Kelurahan Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul tampak mengering. Keringnya sungai itu membuat lapisan batu di dasar sungai tampak berlapis-lapis.
Mendekati bebatuan tersebut, tampak beberapa ornamen menyerupai hewan melata tampak menyembul di bebatuan. Tak hanya satu, bahkan beberapa batu juga tampak ornamen tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sebelumnya belum tahu kalau ada fosil di situ (bawah jembatan Ngalang Gedangsari)," katanya saat ditemui di Dusun Plosodoyong, Kelurahan Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul, Rabu (31/7/2019).
"Warga juga sempat mengambil bebatuan di sana. Tapi setelah dipasangi plakat Geosite, pas pertengahan pemerintahan SBY warga mulai berhenti mengambil batu dari situ (bawah jembatan Ngalang)," sambungnya.
![]() |
Terlebih, setelah itu banyak mahasiswa yang berdatangan untuk melaksanakan riset di lokasi keberadaan fosil tersebut. Kendati demikian, warga belum memanfaatkan keberadaan fosil biota laut untuk pariwisata.
"Belum, belum ada yang mengelolanya (untuk pariwisata) mas, parkir juga belum ada, paling kalau ada pengunjung yang parkir di Masjid seberang jembatan (Ngalalng) dan itu gratis," ujar Slamet.
Diwawancarai terpisah, Ketua Komunitas Georesearch Indonesia, Huri menyebut bahwa ornamen pada bebatuan di bawah jembatan Ngalang adalah fosil jejak atau Burrow fosil. Menurutnya, jejak itu berasal dari binatang purba.
"Yang di bawah jembatan Ngalang itu fosil jejak cacing laut purba, atau pergerakan cacing di pasir hingga membentuk fosil. Kalau dalam istilah geologi (fosil itu) terbentuk dari bioturbasi," katanya.
![]() |
Perlu diketahui, bioturbasi adalah salah satu proses pelapukan tanah dan sedimen secara biologi di dasar laut. Bioturbasi merupakan istilah yang diberikan terhadap destabilisasi substrat oleh aktivitas fauna yang juga dapat mengganggu keadaan di dasar laut.
"Karena itu bentuk batunya menonjol-nonjol, itu adalah pergerakan cacing laut purba saat bergerak di atas pasir. Untuk usia cacing itu diperkirakan dalam rentang 16 sampai 32 juta tahun yang lalu," ucap Huri.
"Sebetulnya ada banyak fosil jejak di aliran sungai bawah jembatan Ngalang, tapi yang paling besar di situ (bawah Jembatan Ngalang), lainnya kecil-kecil," sambungnya.
Pemuda yang kerap disapa Asik ini menyebut bahwa ukuran cacing laut purba itu memiliki diameter sekitar 10 cm. Bahkan, ia mengungkapkan bahwa keberadaan fosil itu sebagai bukti bahwa Kabupaten Gunungkidul dahulunya adalah laut.
"Jadi dari riset kami, dulunya aliran sungai di bawah jembatan Ngalang adalah pesisir pantai. Sehingga Gunungkidul dulu bisa dikatakan lautan," ujar Asik.
"Dan fosil biota laut di sini terbilang langka karena ukurannya yang besar dibanding fosil (jejak) yang ditemukan di Tasikmalaya (Jawa Barat) dan (Kecamatan) Wangon (Kabupaten Banyumas)," imbuh Asik.
Asik menambahkan, bahwa komunitasnya kerap menjadi pemandu mahasiswa atau orang-orang yang kerap melakukan riset di lokasi penemuan fosil. Bahkan, ia menilai struktur batuan di aliran Sungai Ngalang terbilang lengkap dibanding lokasi penemuan fosil lainnya.
"Selain di sini (bawah jembatan Ngalang), struktur batuan lengkap di sini hanya ada di Inggris. Karena itu saya harap Pemerintah kedepannya menjaga keberadaan fosil ini," ucapnya.
Perlu diketahui, lokasi penemuan fosil jejak biota laut itu dikenal sebagai formasi Sambipitu. Di mana formasi itu masuk dalam salah saru Geosite di Geopark Gunungsewu. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini