Mayoritas Warga Solo Raya Tak Setuju Kekerasan Berbasis Agama

Mayoritas Warga Solo Raya Tak Setuju Kekerasan Berbasis Agama

Ristu Hanafi - detikNews
Rabu, 20 Mar 2019 20:45 WIB
Foto: Ristu Hanafi/detikcom
Sleman - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Losta Institute melakukan survei terhadap pendapat masyarakat di Solo Raya (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo) terkait tindak kekerasan dan non-kekerasan ekstrem berbasis agama. Dari 600 responden dengan beragam latar belakang, mayoritas tidak sependapat terhadap motif dan cara kekerasan dan non-kekerasan ekstrem berbasis agama.

Survei dilakukan pada 12-16 Februari 2019 dengan teknik multistage random sampling, 600 responden tersebar di Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, dengan margin of error 4 persen dan wawancara tatap muka menggunakan kuesioner.

Untuk responden terbagi segmen pedesaan-kota 40-60 persen, laki-laki dan perempuan 50-50 persen, dengan distribusi sample Surakarta 23,3 persen, Boyolali 43,3 persen, Sukoharjo 33,3 persen. Dan demografi agama 92 persen responden Islam, 8 persen beragama lain, serta tingkat pendapatan, jenjang pendidikan, pekerjaan hingga kedekatan dengan ormas keagamaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Desain penelitian dengan pengukuran apakah kenal dan setuju atau sebaliknya, terhadap peristiwa yang telah terjadi. Yakni peristiwa kekerasan berbasis agama meliputi bom WTC 9/11, bom Sidoarjo, ISIS dan sweeping saat bulan Ramadan. Sedangkan peristiwa non-kekerasan berbasis agama adalah Aksi Bela Islam 212.

"Kesimpulan sementara hasil survei ini, secara umum, boleh dibilang masyarakat di tiga kabupaten ini pandangan terhadap motif, boleh jadi agak konservatif. Tetapi pada hal cara, masyarakat tidak setuju. Berarti approval terhadap tindak kekerasan itu relatif rendah," kata Direktur Eksekutif CSIS, Philips J Vermonte, Rabu (20/3/2019).

Hal itu disampaikannya dalam Paparan Studi Tindak Kekerasan dan Non-Kekerasan Ekstrem Berbasis Agama : Studi 3 Daerah di Solo Raya, di Hotel Grand Mercure Yogyakarta.

Philips menjelaskan bahwa pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah mengutip pernyataan resmi dari pelaku tindak kekerasan di media massa. Jika tidak ada, maka dikutip pernyataan resmi dari pemerintah atau kepolisian.

"Responden dipaparkan dulu pernyataan resmi dari organisasi yang bersangkutan, menambah derajat objektivitas dari pertanyaan. Jadi pertanyaan bukan kita yang buat, tapi fakta yang disampaikan oleh yang bersangkutan," terangnya.

Hasilnya, sikap responden terhadap peristiwa bom WTC 7,8 persen setuju dan mendukung motif, 79,3 persen tidak setuju. Sikap terhadap caranya, 5,1 persen setuju, 86,7 persen tak setuju.

Selanjutnya bom Sidoarjo, 2,6 persen setuju motifnya, 89,9 persen tak setuju. 1,2 persen setuju caranya, 97,1 tak setuju. Kemudian sweeping tempat hiburan malam saat Ramadan, 42,7 persen setuju motifnya, 51,8 persen tak setuju. Terhadap caranya, 24,5 persen setuju, 69,8 tak setuju.

Aksi ISIS, 4,2 persen setuju motifnya, 90,1 persen tak setuju. Dan Aksi Bela Islam 212, 35,3 persen setuju motifnya, 51,7 persen tak setuju. Dua peristiwa itu tidak ditanyakan soal sikap terhadap caranya.

Khusus responden muslim juga ditanya terkait toleransi beragama. Hasilnya, 71,8 persen bersedia ada umat non-muslim membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya, 90,4 persen bersedia bertetangga dengan non-muslim, 80,9 persen bersedia ada non-muslim merayakan Natal di lingkungan tempat tinggal responden.

Juga ditanya sikap terhadap demokrasi, 57 persen setuju pernyataan demokrasi mempunyai kelemahan, tetapi tetap lebih baik daripada sistem pemerintahan yang lain. Dan 56,3 persen setuju saat ini di Indonesia rakyat bebas mengkritik pemerintah tanpa harus merasa takut.

Philips mengungkapkan pertimbangan sasaran survei di Solo Raya. Yakni segi kepraktisan dan menguji asumsi yang beredar.

"Pertama segi praktis, berawal dari workshop Persepi bulan Desember, hasilnya diuji coba terkait bagaimana melaksanakan survei dengan materi pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya sensitif, lalu partner, anggota lokal kita itu, ini secara praktis, adalah teman-teman Losta di Yogya yang sudah berpengalaman melakukan riset di sini (sekitar DIY-Jateng). Kedua, ada asumsi-asumsi tentang bagaimana wilayah Solo Raya, yaudah kita lakukan survei di Solo Raya, untuk melihat seberapa benar asumsi tentang sumbu pendek, dan lain-lain itu," terangnya.

Di kesempatan yang sama, Mohammad Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-Cultural Universitas Gadjah Mada (UGM) merespon positif hasil survei ini.

"Sebagian kalangan, Solo Raya dianggap kawasan sumbu pendek, pertanyaan paling sering muncul adalah toleransi atau kekerasan. Ini lebih banyak kabar baiknya daripada kabar buruk. Memberikan optimisme relasi keberagaman ada ruang terbuka, ada modal sosial di masyarakat," ujarnya.

"Dukungan terorisme rendah di kalangan masyarakat, meski narasi terorisme banyak di medsos, tapi resonansi di masyarakat rendah. Ada basis kita untuk optimis masa depan toleransi di Indonesia," lanjutnya.

Meski demikian, Iqbal meminta agar sikap masyarakat yang mendukung motif dan cara kekerasan berbasis agama tidak dipandang sebelah mata.

"Walau kecil tidak bisa dinafiikan, kelompok ini sering nyata di ruang publik. Sehingga jika tidak diimbangi bisa berpengaruh ke masyarakat luas, supaya suara toleransi lebih vokal, ketahanan modal sosial bisa ditingkatkan dari masyarakat sendiri, juga dari pemerintah," imbuhnya.
(bgk/bgs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads