Protein gratis itu adalah ungkrung atau pupa ulat pohon jati. Orang Gunungkidul menyebutnya ungkrung. Di daerah lain ada juga yang menyebutnya ungker atau enthung.
Tak hanya dikonsumsi, keberadaan ungkrung ternyata turut mendongkrak perekonomian warga. Bukan tanpa alasan, hal itu dikarenakan harga jual ungkrung yang mencapai Rp 110 ribu per kilonya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Tampak pula beberapa sedang sibuk membongkar bebatuan yang berada di sekitar pohon jati tersebut dengan sebuah batang kayu. Selanjutnya, setelah mendapat benda berukuran kecil, mereka langsung memasukkan ke sebuah plastik.
Penasaran dengan apa yang dilakukan orang-orang itu, detikcom pun mencoba mendekatinya. Ternyata mereka tengah mencari pupa ulat jati atau yang lebih dikenal masyarakat Gunungkidul dengan sebutan ungkrung.
Ada ribuan atau bahkan jutaan ungkrung. Ungkrung-ungkrung tersebut semula memakan daun-daun jati yang tumbuh seiring turunnya hujan. Dalam proses metamorfosanya, ungkrung kemudian akan turun ke tanah untuk 'bertapa' menjadi pupa.
Pada saat itulah warga akan mengambilinya. Diutamakan yang diambil adalah ungkrung atau yang sudah menjadi pupa, namun kadang-kadang masih bercampur ulatnya. Pasti tetap saja ada ungkrung yang terlewat dan selamat, selanjutnya akan menjadi kupu-kupu yang akan bertelur di daun jati berikutnya.
![]() |
Dijelaskan Tukem (40), warga Dusun Rejosari, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul bahwa sejak jam 6 pagi ia sudah mencari ungkrung. Menurutnya, hal itu memang kerap ia lakukan saat musim hujan khususnya di akhir tahun seperti saat ini.
"Ini pas senggang waktu saja. Kerjaan di ladang sudah selesai, saya cari ungkrung di sini. Setiap tahun pasti cari ungkrung, karena keluarnya setahun sekali," kata Tukem, Rabu (19/12/2018) sore.
Meskipun mencari sejak pagi hari, jumlah ungkrung yang didapat Tukem tidak menentu. Mengingat banyak warga yang mencari ungkrung seperti dirinya.
"Kalau nyari ungkrung gini harus seharian, ini saja baru dapat sedikit, paling tidak sampai satu kilogram. Tapi biasanya kalau cermat yang nyari dalam sehari bisa dapat satu kilo, itu pun campur sama ulat jati," ujarnya.
![]() |
Menurut Tukem, ulat jati berwarna hitam itu ia ambil karena jika didiamkan akan berkembang menjadi ungkrung. Selain itu, apabila sudah berjumlah banyak, ungkrung-ungkrung tersebut akan diolah dijadikan lauk makan yang kaya protein.
"Kalau saya ungkrungnya dimakan sendiri, nggak dijual. Biasanya dibacem dulu terus digoreng, rasanya gurih. Tapi kalau tidak cocok (makan ungkrung) bisa bidhuren (alergi kulit)," katanya.
Berbeda dengan Tukem, Maryati (30), Warga Dusun Sukuran, Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul mengaku mencari ungkrung untuk mengisi waktu luang. Selain mengisi waktu luang, ungkrung yang diperolehnya terkadang ia jual kembali.
"Ya kalau dapatnya banyak saya jual, kan harganya untuk satu kilo itu Rp 110 sampai Rp 120 ribu, itu mentah lho. Jadi bisa untuk tambah-tambah pemasukan juga, tapi ya kalau dapat banyak," ujarnya.
![]() |
Tampak dalam berburu ungkrung tersebut Maryati turut mengajak anaknya, dengan teliti ia bersama anaknya mencari ungkrung dan setelah dapat dimasukkan ke dalam plastik berwarna bening.
Baca juga: Ke Gunungkidul, Ayo Coba Belalang Goreng |
Ditambahkan Maryati, apabila ungkrung yang didapatkannya berjumlah sedikit, ia akan mengolahnya untuk dimakan anggota keluarganya yang sebagian besar menyukai olahan ungkrung.
"Saya ini sebenarnya alergi kalau makan ungkrung, tapi suka nyari ungkrung. Biasanya kalau dapat sedikit itu saya masak, bisa dimasak dengan bumbu bawang putih dan garam, atau dibacem terus digoreng," kata Maryati.
Anda berani mencoba?
Simak juga video 'Ada yang Berani Cicipi Makanan Menjijikkan Ini?':
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini