Slamet (63) meninggal pada Senin (17/12/2018) pagi. Mendiang merupakan warga RT 53, RW 13, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta.
Ketua RT 53, RW 13 Purbayan, Soleh Rahmat Hidayat menjelaskan, perwakilan keluarga dan warga membuat sejumlah kesepakatan sebelum Slamet dimakamkan. Sebab Slamet merupakan non muslim, sementara makam di kampung tersebut merupakan pemakaman untuk muslim. Pemakaman non muslim di makam tersebut merupakan peristiwa pertama di kampung itu.
Warga awalnya keberatan jika Slamet dimakamkan di makam tersebut. Namun kemudian dibuat kesepakatan antara lain yaitu tidak ada simbol salib dan prosesi ibadat di makam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soleh menegaskan, keputusan menggergaji nisan berbentuk salib dan larangan berkirim doa di rumah duka adalah hasil kesepakatan warga. "Kesepakatan dengan keluarga dan sudah ada tanda tangan dengan keluarga dengan masyarakat. Bahwa memang aturannya harus begitu, ya sudah memang harus begitu apa adanya," ungkapnya.
Soleh menyatakan kesepakatan warga tersebut tidak menabrak aturan hukum di Indonesia. Meskipun ada aturan negara namun juga ada aturan dan adat istiadat masyarakat setempat yang harus dihormati.
"Ya (aturan) di kampung kan beda-beda mas. Sampean (anda) lahir di mana, kita lahir di mana kan aturannya berbeda. Walaupun satu negara adat istiadatnya kan berbeda," pungkas Soleh.
Pengurus Gereja Santo Paulus Pringgolayan, Agustinus Sunarto mengatakan, Slamet tercatat sebagai jemaah Gereja Santo Paulus Pringgolayan, beralamat di Jalan Wulung No 8, Dusun Pringgolayan, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.
Karena Slamet adalah jamaah gereja tersebut, Sunarto turut membantu prosesi pemakaman jenazah Slamet. Gereja tidak keberatan dengan kesepakatan keluarga dengan warga . "Ya sudah enggak problem bagi kami. Akhirnya (pemakaman) tetap berjalan, jam 14.00 WIB kita berangkat tanpa doa di luar, tapi kita doakan di dalam rumah," ujar pengurus Gereja Santo Paulus Pringgolayan, Agustinus Sunarto, Selasa (18/12/2018).
"Cuma setelah itu terus terang saya tidak ke makam. Hanya diberitahu bahwa ada kejadian bahwa sewaktu akan ditancapkan salib, itu salibnya dipotong. Tapi tetap ditancapkan yang di atas itu," ungkap Sunarto.
Sunarto mengatakan, pihak gereja menerima kejadian yang menimpa salah satu jemaatnya tersebut. Pihak gereja, lanjut Sunarto, juga tidak mempermasalahkan pemotongan nisan berbentuk salib saat prosesi pemakaman.
"Bagi gereja ya sudah kejadian ini sebagai pengalaman kita. Jadi masalah pemotongan (salib) bagi kita tidak ada problem sebenarnya, pemindahan makam juga tidak ada masalah, termasuk keluarganya, ya kita terima saja," ujarnya.
(asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini