"Dunia sekarang ini banyak media tanpa redaksi, di mana semua orang bisa menjadi wartawan, di mana semua orang menjadi redaktur," kata Pratikno dalam sambutannya di seminar nasional 'Pemuda dan Bela Negara' di UIN Sunan Kalijaga, Kamis (1/11/2018).
"Di situ muncul hoax, pemberitaan yang tidak bertanggungjawab. Di situ muncul peluang fitnah, hoax. Ini adalah bukan semata-mata problem Indonesia, ini adalah problem dunia yang sedang tergagap-gagap menghadapi hoax ini," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pratikno melanjutkan, yang paling mengkhawatirkan di era banjir informasi ini yakni ketika hoax diproduksi oleh pihak yang ingin mencari keuntungan sesaat. Tujuannya untuk memantik kegaduhan dan kontroversi di tengah-tengah masyarakat.
"Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika hoax menjadi industri. Ketika hoax membuka peluang usaha, ketika hoax dikomersilkan. Ketika ada yang pesan hoax dan kemudian ada yang jualan," jelas mantan Rektor UGM Yogyakarta ini.
"Nah ini sebuah tantangan yang paling serius yang kita hadapi. Apalagi di tengah koneksi internet dunia yang berkembang sangat pesat, dan Asia Tenggara termasuk kategori tinggi koneksi internetnya. Seingat saya sekitar 58%, itu koneksi di Asia Tenggara," ucapnya.
Menurutnya, munculnya berita bohong atau berita bohong tidak bisa dibendung. Sementara yang dapat diupayakan pemerintah adalah meminimalisir potensi hoax, dan memunculkan berita-berita yang sebenarnya terjadi.
"Mau tidak mau ketika tanpa ada screening, tanpa ada redaktur, maka yang ada adalah kebaikan itu harus mampu merebut panggung yang tersedia, harus ikut berjejal-jejal menguasai panggung pemberitaan," pungkas dia. (mbr/mbr)