Kedatangan warga menuju makam dengan membawa bunga mawar untuk ditaburkan di nisan Makam Ki Mandung maupun ahli waris warga. Selain itu, warga juga membawa berbagai menu makanan, sayuran dan jajan pasar.
Setelah tiba di makam dengan alas sekadarnya, mereka kemudian duduk bersila di sekitar makam. Bahkan ada yang duduk di sela-sela nisan dengan alas koran. Warga yang ikut sadranan inipun juga datang dari luar kota. Selain itu, mereka juga bisa bersilaturahmi dengan warga lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah seorang warga Susukan Krajan, Kelurahan Susukan, Gatut Hariyanto (34), mengatakan, sadranan ini sangat menarik karena semua warga bisa berkumpul bareng setahun sekali.
![]() |
"Saya sudah ikut dua kali, dulunya asal Jawa Timur, tapi sekarang sudah warga sini. Menarik, semua warga bisa kumpul bareng setahun sekali ketemu. Ada yang datang dari luar kota ikut, termasuk saudara saya dari Salatiga datang ke sini," ujar Gatut yang karyawan pabrik di kawasan Bawen di sela-sela Sadranan di Makam Ki Mandung, Jumat (21/9/2018).
Warga lainnya, Titik Armawati (51), mengatakan, datang untuk ikut berdoa di sini karena merupakan sesepuh desa yang dimakamkan. Kemudian, ada juga leluhurnya yang juga dimakamkan di sini pula.
![]() |
"Semua warga boleh ikut untuk berdoa di sini. Juga mendoakan leluhurnya yang dimakamkan di sini," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Pengurus Makam Ki Mandung, Suratman mengatakan, sadranan ini sejarahnya dulunya Ki Mandung dan Nyi Mandung merupakan pengikut Ki Ageng Pandanaran. Ketika itu, mereka mengikuti perjalanan dari Semarang menuju Bayat, Klaten serta dipesan untuk tidak membawa perhiasan.
"Dalam perjalanan sampai di Gunung Kalong ini dibegal orang. Karena dulunya di sini dianggap masih banyak orang yang belum tahu kebaikan, terus Ki Mandung dan Nyi Mandung membatalkan ikut ke Bayat memutuskan tinggal di Susukan untuk menyiarkan agama Islam di sini," tuturnya.
![]() |
Sadranan, katanya, dilangsungkan pada Jumat Wage saat meninggalkan Ki Mandung atau Jumat Kliwon meninggalkan Nyi Mandung.
"Kalau Jumat Wage meninggalkan Ki Mandung, kalau Jumat Kliwon meninggalnya Nyi Mandung. Karena satu bulan Jawa, kadang tidak ada wage, adanya kliwon, acara kliwon dan seluruh warga masyarakat di sini sudah hafal," tuturnya.
Untuk yang mengikuti sadranan, katanya, bukan hanya umat muslim saja. Semua warga yang tinggal di wilayah Kelurahan Susukan, bahkan dari luar daerah seperti Srondol, Banyumanik maupun warga sekitar ikut sadranan.
"Di sini tidak ada perbedaan, kita bareng-bareng nyengkuyung, juga ada suku lain banyak juga. Warga di sini kompak dari kalangan apapun, kalangan agama apapun itu bareng-bareng acara ini," katanya.
![]() |
Warga yang mengikuti sadranana juga membawa berbagai macam makanan. Namun ada satu makanan yang dipercaya terlarang untuk dibawa yakni tempe. Hal ini pun telah diketahui warga.
"Ceritanya dulu Ki Mandung melihat orang membuat tempe dengan diinjak-injak, orang yang membuat tempe baru datang bulan sehingga Ki Mandung tidak suka dengan tempe. Sampai sekarang tempe tidak ada kalau acara ini," ujar dia.
Simak Juga 'Ziarah ke Makam Sang Penyebar Islam di Palu':
(sip/sip)