Hal ini disampaikan Camat Batur, Banjarnegara Herry Kartika. Menurutnya, fenomena bun upas yang terjadi di dataran tinggi Dieng bagai madu dan racun. Di satu sisi bisa dioptimalkan di sektor pariwisata. Namun di sisi lain merugikan para petani.
"Setelah ada embun es, tanaman langsung mati," ujarnya saat ditemui di gedung DPRD Banjarnegara Kamis (26/7/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau usia tanaman sudah 80 hari itu sudah bisa dipanen jika terkena bun upas. Makanya, petani harus bisa mengatur kapan waktu menanam. Meski bun upas tidak bisa diprediksi kapan munculnya, tetapi selalu muncul di musim kemarau, antara Bulan Juli hingga Agustus," paparnya.
Berdasarkan keterangan petani, mereka nekat menanam kentang saat musim kemarau lantaran harga kentang cenderung lebih mahal. Di sisi lain, kualitas panen juga lebih bagus dibanding musim hujan.
"Faktor ini yang akhirnya membuat petani nekat menanam kentang. Untung-untungan kalau tidak terkena bun upas maka akan untung lebih banyak," terangnya.
Sementara, untuk memanfaatkan momen embun es di sektor pariwisata sulit dilakukan. Sebab, munculnya embun yang membeku ini sulit diprediksi.
"Bisa jadi wisatawan sudah menginap di Dieng ternyata besoknya tidak muncul. Ini yang menjadi kendala untuk dikembangkan, meski banyak wisatawan yang penasaran ingin melihat langsung seperti apa embun es itu," kata Herry. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini