Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa sejarah perjuangan Yogya Kembali tidak bisa dilepaskan dari perisitiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Yogya Kembali adalah hasil dari kerja keras serangan tersebut.
"Peristiwa Yogya Kembali adalah peristiwa penting bagi kemerdekaan Republik Indonesia pada masa itu. Kembalinya Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda menjadi awal kedaulatan Republik Indonesia pada waktu itu yang beribu kota di Yogyakarta," kata Sri Sultan HB X dalam amanahnya yang dibacakan oleh inspektur upacara Kepala seksi personel Korem 072 Pamungkas Kolonel inf Drs D.K Subandi di Tetenger Yogya Kembali, di Jalan Malioboro Yogyakarta, Jumat (29/6/2018). Tampak dalam upacara tersebut para peserta mengenakan pakaian bertema perjuangan, beberapa di antaranya menggunakan pakaian batik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Upacara peringatan Yogya Kembali di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Foto: Edzan Raharjo/detikcom |
Sultan HB X mengatakan salah satu penggalan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di dalam menghadapi agresi militer Belanda ke 2 diawali dengan adanya peristiwa serangan Umum 1 Maret 1949. Aksi serangan yang dilancarkan oleh TNI dan rakyat itu untuk menepis anggapan dunia internasional yang menyatakan bahwa pemerintah RI sudah tidak ada lagi.
"Dengan Serangan Umum di bawah komando Panglima Besar Jenderal Soedirman membuktikan bahwa TNI masih ada dan cukup kuat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangusng di dewan keamanan PBB dengan tujuan utama mementahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia Internasional bahwa TNI masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan," kata Sultan HB X.
Peringatan Yogya Kembali ini juga mengawali digelarnya Musyawarah Besar ke 7 Paguyuban Wehrkreis-III di hotel Inna Garuda Yogyakarta. Paguyuban Wehrkreis-III merupakan paguyuban keluarga para pejuang para pelaku sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Paguyuban Wehrkreis daerah Perlawanan Tiga Yogyakarta, Sudjono mengatakan dengan adanya tetenger tersebut dapat menambah pemahaman bahwa Yogyakarta benar-benar merupakan kota perjuangan. Menurutnya, ada tiga peristiwa penting yang menandai Yogyakarta sebagai kota perjuangan yaitu peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Yogya Kembali 29 Juni 1949 dan serbuan Kota Baru tanggal 7 Oktober 1945.
"Kalau sampai serangan 1 Maret sampai Yogya Kembali tidak berhasil, Belanda tidak pergi dari Yogya," kata Sudjono.
Tetenger atau tanda sejarah peristiwa Yogya Kembali di Jalan Malioboro. Foto: Edzan Raharjo/detikcom |
Tetenger Yogya Kembali ini berupa batu yang berasal dari batu Merapi yang terletak di Jalan Malioboro. Di tempat ini pasukan tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta yang saat itu sebagai Ibu Kota Republik Indonesia.
Pada tetenger tersebut tertulis 'Dengan jaminan tidak ada letusan senjata, Sri Sultan Hamengku Buwono IX Memutuskan, Di sinilah garis batas penarikan Tentara Belanda Dari Yogyakarta Sebagai Ibu Kota Republik Indonesia Pada Tanggal 29 Juni 1949.' Pada tetenger tersebut terdapat gambar rel kereta api yang merupakan batas ditariknya tentara Belanda. (sip/sip)












































Upacara peringatan Yogya Kembali di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Foto: Edzan Raharjo/detikcom
Tetenger atau tanda sejarah peristiwa Yogya Kembali di Jalan Malioboro. Foto: Edzan Raharjo/detikcom