Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), organisasi masyarakat keturunan Tionghoa di Solo, pernah memiliki kelompok wayang orang panggung amatir cukup terkenal. Kelompok ini biasa disebut Wayang Orang PMS.
Wakil Ketua Umum PMS, Sumartono Hadinoto, menjelaskan bahwa semula PMS sebenarnya memiliki program utama di bidang pelayanan pemakaman bagi masyarakat keturunan Tionghoa. Namun dalam perkembangannya, PMS turut membaur dengan masyarakat lokal, terutama dalam hal seni budaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tepatnya pada tahun 1958, pimpinan Chuan Min Kung Hui (sekarang PMS) yang bernama Liem Thiam Bie, menunjuk Tan Kiong Ing sebagai pimpinan seksi kesenian Jawa. Di saat itulah pembauran budaya mengalami percepatan.
Sejumlah pergelaran telah dipentaskan oleh wayang orang PMS. Seperti pada 1969, PMS menggelar pentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kemudian pada 1971 di Singapura, lalu TVRI Yogyakarta dan Gedung Wayang Orang Sriwedari.
Kemampuan seni para pemain wayang orang PMS memang tak bisa dipandang sebelah mata. Terbukti mereka mampu merebut piala bergilir Ibu Tien Soeharto pada Festival Wayang Orang Panggung Amatir (WOPA).
"Kita dua kali meraih piala bergilir Ibu Tien Soeharto berturut-turut pada 1989 dan 1991. Lalu pada 1993, Wayang Orang PMS menjadi 5 besar penyaji terbaik," ujarnya.
Wayang Orang PMS juga berkesempatan tampil dalam acara ulang tahun Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjabat sebagai presiden. Saat itu, wayang orang PMS telah meredup karena banyak tokohnya yang meninggal dunia dan mengalami hambatan regenerasi.
Seniman senior Solo, St Wiyono, turut menyaksikan masa keemasan Wayang Orang PMS. Teaterawan yang juga penari tersebut bahkan mengaku di masa kecilnya, pernah balajar menari di PMS.
Wiyono menilai kelompok tersebut cukup mewarnai dunia pentas wayang orang di Surakarta, bahkan di Indonesia. Wayang Orang PMS memiliki beberapa pemain wayang orang yang sangat mumpuni, baik dari antawacana (pembawaan dialog wayang), maupun pendalaman karakternya.
Bahkan meskipun sebagai kelompok amatir, beberapa dari personel Wayang Orang PMS juga kerap tampil membantu Wayang Orang Sriwedari yang memang merupakan wayang profesional.
"Misalnya Theo Hidayat terkenal jadi Dasamuka, dia sangat luar biasa. Lalu sebagai pemeran Cakil itu Tan Gwan Hien, dulu luar biasa karena memang dia ahli pencak," kata Wiyono.
Ws Adjie Chandra (Foto: Dok. Pribadi) |
Salah satu pemain wayang orang PMS yang masih eksis hingga kini adalah Ws Adjie Chandra. Dia aktif dan belajar di wayang orang PMS sejak usia 20-an tahun. Di masa tuanya, kini sehari-hari dia dikenal sebagai seorang rohaniawan Konghucu.
Keikutsertaannya di Wayang Orang PMS berawal hanya berperan sebagai figuran, pria bernama lain Go Djien Tjwan itu kemudian ditunjuk memerankan tokoh Semar. Tentu tidak sembarang orang dapat memerankan Semar yang merupakan tokoh bijaksana.
"Ketika wayang orang PMS merayakan ulang tahun ke-50, yang biasa memerankan Semar mendadak meninggal, lalu saya diminta menggantikan. Mungkin karena rohaniawan, jadi agak cocok. Semar kan sering memberi nasihat," kata pria berusia 60 tahun itu.
Dia mengaku memperoleh banyak pengalaman saat bermain bersama wayang orang PMS. Antara lain ketika mereka diundang Ibu Tien Soeharto di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
"Saat itu saya masih awal-awal memerankan Semar. Saya berkesempatan tampil bareng komedian Iskak dan Ateng sebagai punakawan. Itu kebanggaan tersendiri bagi saya," ungkapnya.
Sekalipun wayang orang PMS meredup, tokoh Semar ternyata melekat dengan dirinya. Dia kemudian membentuk kelompok Punakawan bersama tiga orang temannya yang berbeda latar belakang dari kalangan lintas iman.
Adjie berperan sebagai Semar. Tokoh Gareng dimainkan oleh seorang kristiani, Petruk diperankan oleh muslim, dan Bagong diperankan oleh seorang penganut kejawen atau aliran kepercayaan.
"Sebelum wayang orang PMS tampil di depan Presiden Gus Dur, saya dan Punakawan lebih dahulu diundang Gus Dur dalam acara Imlek. Baru selanjutnya PMS tampil lengkap dengan wayang," ujarnya.
"Setelah itu Punakawan berlanjut tampil di hadapan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono di acara Imlek. Di hadapan Pak Jokowi juga pernah, tapi waktu masih Wali Kota Surakarta," ungkap Adjie.
Baginya, eksistensi masyarakat Tionghoa dalam dunia wayang orang menjadi bukti bahwa mereka telah lama menyatu dengan budaya Jawa. Hal itu otomatis menepis isu miring tentang mereka.
"Yang dulu diisukan orang Cina (Tionghoa) eksklusif, tidak mau membaur, enggak nyata. Apa ada warga WNI keturunan lain bisa main wayang sebagus kami? Tidak ada!" tegasnya mantap.
Rasa sebagai manusia berdenyut dan bertemu di ranah universal; budaya. Sama-sama tinggal di bumi yang sama, etnis Tionghoa di Solo pun jatuh cinta pada budaya lokal yang tumbuh di sekitarnya. Demikian juga mungkin etnis lain yang tinggal di lingkungan mayoritas etnis lainnya.
Pembauran itu telah lama ada. Kalau akhir-akhir ini Anda banyak mendengar dihembus-hembuskan sentimen kesukuan dan etnis, patut dicurigai mereka hanyalah pedagang isu politik yang tidak paham kesejatian bangsanya sendiri yang telah menjalani kebhinekaan hingga mendarah daging selama ratusan tahun lamanya. (mbr/mbr)












































Ws Adjie Chandra (Foto: Dok. Pribadi)