Dedaunan di taman kelenteng juga masih tersisa bulir-bulir air. Bahkan di gerbang berwarna merah, masih tersisa tetesan air yang jatuh dari atap bangunan kelenteng.
Klenteng ini berada di kawasan Menara Kudus. Letaknya sekitar 50 meter dari Menara. Berada di ujung Jalan Madurekso nomor 2, atau jalan masuk kawasan menara dari arah Alun-alun Kudus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Bangunan berdiri pada sekitar abad XV. Selain itu juga bangunan masuk dalam daftar salah satu Benda Cagar Budaya di Kabupaten Kudus. Sejauh ini, bangunan telah menjalani renovasi dua kali, pada tahun 1889 dan 1976.
Bangunan memiliki luas 300,80 meter persegi, berdiri di atas tanah 611 meter persegi, panjang 16,50 meter dan tinggi 8 meter. Bangunan merupakan tempat ibadah agama Konghucu. Bangunan menghadap ke barat, dengan dilengkapi motif hias fauna gambaran naga dan singa.
Di buku itu juga dilengkapi arti penting bangunan yakni menambah data arkeologi tentang proses akulturasi budaya lokal dan budaya Tionghoa. Itu juga jadi bukti kerukunan umat beragama di Kudus cukup mantap sejak berabad abad lalu. Pada zaman Sunan Kudus, warga diminta menghargai umat lain, sehingga toleransi berjalan baik.
Penjaga Kelenteng Hok Ling Bio, Pa Dol (55) ditemui detikcom di ruang samping bangunan mengatakan, sepengetahuannya memang telah dua kali bangunan direnovasi. "Sejak renovasi terakhir, tak ada lagi renovasi sampai sekarang," katanya.
![]() |
Pa Dol menceritakan bangunan kelenteng memang lebih dulu daripada bangunan Menara Kudus. Hal itu berdasarkan referensi yang ada. Meski demikian, toleransi antarumat beragama terus terjalin.
Di bangunan milik Yayasan Dharma, sampai sekarang masih aktif dipakai beribadah. Terutama setiap malam Jumat. "Dengan jemaahnya sekitar 15-25 orang yang ikut sembahyang," terangnya.
Bangunan memiliki tiga ruangan, yaitu ruangan teras berbentuk joglo pencu, ruangan sembahyang, dan ruangan dapur. Setiap masa sembahyang tiba, para jemaah biasanya memenuhi tempat sembahyang. Setelahnya, mereka duduk santai di ruang teras. "Teras bagian kanan untuk perempuan, dan yang kiri untuk laki-laki," paparnya.
![]() |
Perwakilan pengurus kelenteng, Wignyo Hartono (62), ditemui di toko kelontongnya tak jauh dari kelenteng, mengatakan, dirinya mengelola kelenteng sudah hampir 25 tahun.
"Sejauh ini, hubungan antara umat beragama di lokasi ini terjalin harmonis. Kami hidup bersama di lingkungan ini (kawasan Menara Kudus)," katanya.
Di kelenteng sampai sekarang masih dipakai untuk sembahyang. Dengan umatnya sebagian besar adalah warga Kudus. Disinggung apakah nanti saat Imlek akan ada acara khusus di kelenteng, Wignyo hanya menjelaskan, hanya sembahyang yang dilakukan umat. "Sembahyang saja seperti biasa," pungkasnya. (mbr/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini