"Tahun ini ada 15 kasus yang kita advokasi, itu belum yang tidak terlaporkan, atau yang diadvokasi oleh lembaga disabilitas lain," kata Divisi Woman Disabilitas Crisis Center SAPDA Yogyakarta, Sri Lestari, ditemui detikcom di sela acara peringatan Hari Disabilitas Internasional 2017 di kompleks Candi Prambanan, Sabtu (2/12/2017).
Kasus yang dilaporkan mayoritas pelecehan seksual disusul perlakuan diskriminasi berupa kurangnya pemenuhan hak serta aksesibilitas penyandang disabilitas. Menurut Sri, masih maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas karena belum ada regulasi khusus yang mengatur sanksi terhadap pelaku.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Diakuinya, dari beberapa kasus yang diadvokasi selama ini, hal itu memicu bentuk kekerasan lain, yakni intimidasi dari pelaku yang mengetahu aksinya dilaporkan ke pihak berwajib.
"Kalau dilaporkan, proses hukumnya sulit, terkadang kesaksian korban kerap dikesampingkan, intimidasi juga sering," imbuhnya.
Selain itu, lanjutnya, penyedia layanan (pihak berwajib) masih beberapa yang belum bisa berinteraksi dengan korban. Karena menurutnya, korban dari kalangan disabilitas memang butuh pendekatan khusus.
Meski demikian, selain mengadvokasi proses hukum, pihaknya juga memprioritaskan penanganan korban pasca kejadian.
"Bagaimana caranya agar korban tidak trauma, bisa kembali lagi kepada masyarakat, karena jika hal itu tidak didampingi, bukan tidak mungkin muncul kasus diskriminasi lagi kepada korban," imbaunya. (mbr/mbr)