Bagi warga Rembang, siapa yang tak kenal dengan sosok yang kerap disapa Mbah Diyono ini. Ia dipercaya warga bisa memindahkan hujan. Bagi yang sedang punya hajat, Mbah Diyono menjadi sosok yang dicari-cari.
"Saya bukan menolak hujan. Namun hanya berusaha memindahkan hujan saja. Sebab hujan itu adalah kehendak tuhan yang memang tidak bisa ditolak oleh manusia," kata Mbah Diyono kepada detikcom di rumahnya di Desa Sidowayah Kecamatan Rembang, Jumat (10/11/17).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya memang bangga mengenakan pakaian ini. Sebab saya juga bangga dengan Indonesia. Saya belajar ini hanya mandiri tanpa berguru. Yakni dengan cara tirakat puasa, melek wengi (Tahajud) dan ikhtiar batin lainnya," imbuhnya.
Mbah Diyono bercerita, saat muda dulu ia pernah ikut berjuang dalam pertempuran 5 hari di Semarang pada tahun 1945. Saat itu ia masih berusia 17 tahun dan masih mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Pemuda Semarang.
"Kala itu sekitar 13 Oktober suasana seluruh Semarang menjadi mencekam. Dalam aksi pelucutan senjata, tentara Jepang yang masih dipimpin oleh Mayor Kido menolak keras dengan adanya pelucutan senjata oleh pemuda Semarang. Dan akhirnya pada 16 hingga 20 Oktober terjadilah pertempuran 5 hari di Semarang," akunya.
Sementara itu, di saat Indonesia bebas dari penjajah, akhirnya pada tahun 1964 ia menekuni profesi sebagai pawang hujan. Kemudian pada tahun 1967 ia menikah dengan Sulastri Warga Rembang dan kini dikarunia 3 orang anak. (sip/sip)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini