Plasenta Wage Rudolf Supratman juga ditanam di depan rumah tempat dia dilahirkan. Plasenta itu ditanam di Dusun Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo. Tempat plasenta ditanam ditandai dengan sebuah pohon puring. Hal itu juga mengandung simbol yang mendalam.
"Di situlah tertinggal saksi bisu, bukti sejarah seorang putra negeri berupa tempat dikuburkannya ari-ari dari Wage yang diberi tanda pohon puring. Pohon puring itu maknanya adalah pengabdianku tak pernah kering," kata Suyono (47), warga Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing yang masih kerabat dengan WR Supratman
![]() |
Panut (53), yang merupakan penjaga rumah tersebut sekarang ini menjadi semacam monumen atau tetenger. Di rumah yang masih seperti aslinya dulu itu terpasangan tulisan "Memorial House WR Supratman".
Bangunan utama rumah berbentuk limasan itu masih dipertahankan seperti aslinya. Hanya dinding bambu di sekeliling rumah itu diganti dengan kayu nangka. Sedangkan lantai masih asli berlantai tanah. Beberapa kerabat/keluarga dari WR Supratman ada yang masih tinggal di dusun itu. Mereka pula yang merawat rumah dan menerima tamu bila ada kunjungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai kerabat, Suyono mengaku amat mengagumi sosok Wage. Beberapa catatan yang ditulis dalam sebuah puisi, meski ringkas, namun penuh makna.
"Sebelum wafat tanggal 18 Agustus 1938, Wage sempat menuliskan sebuah syair ringkas yang menyayat hati," katanya.
![]() |
Di salah satu dinding di rumah itu juga terpampang tulisan. "Nasibkoe soedah begini, Inilah jang disoekai Pemerintah Hindia Belanda.
Biarlah saja meninggal, saja ichlas.Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe. Saja yakin, Indonesia pasti merdeka".
(bgs/bgs)