"Istri saya kan juga butuh ruang ekspresi, yang punya pesantren perempuan sendiri," kata KH Abdul Muhaimin kepada detikcom, Minggu (22/10/2017).
Ponpes tersebut berdiri sekitar tahun 1990-an, terinspirasi saat KH Mufid dari Ponpes Sunan Pandangan Sleman menitipkan dua santri perempuan kepada Muhaimin dan As'adah. "Dalam tanpa petik itu didhawuhi (diperintah) Mbah Mufid untuk mengasuh santri," ungkapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari 70 santri itu yang menghafalkan al-Quran 26 santri. Kalau pesantren sini ya pondok tahfidz dan kitab kuning, khususnya tafsir untuk membentuk pemahaman yang lebih moderat," ucapnya.
Kyai Muhaimin menerangkan, visi yang diusung pondok ini ada tiga M, yaitu modern, moderat dan manusiawi. Modern artinya para santri juga diajak menggeluti wacana-wacana gender, demokrasi, HAM, namun berbasis tafsir.
"Moderat artinya di sini semua pihak kami terima. Santri saya yang (orang) Muhammadiyah juga ada, saya tarawih 23 rakaat dia 11 rakaat saya diamkan saja, tidak apa-apa," jabarnya.
"Kalau visi manusiawi artinya core isu kami kemanusiaan. Ya jadi santri tidak terkejut kalau ada tamu datang yang tidak punya agama sekalipun," pungkas Kiai Muhaimin. (mbr/mbr)