Hal itu diakibatkan dari efek perang bubat yang terjadi antara kerajaan Sunda dengan Majapahit sekitar 600 tahun lalu. Luka lama itu terus terpelihara di masyarakat yang diabadikan lintas generasi scara tutur dan mencerita cerita rakyat atau folklore.
Namun setelah peresmian nama jalan di kawasan Rung Road DIY pada hari Selasa (3/10/2017) kemarin oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Gubernur Jawa Timur, sekat psikologis yang bertahan turun-temurun itu hilang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guru besar Antroplogi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Heddy Shri Ahimsa Putra mengungkapkan perang Bubat sampai saat ini masih dianggap sebagai luka lama bagi sebagian orang Sunda.
Bahkan perang ini juga dianggap bisa menjadi pemicu emosi kolektif masyarakat, yang berdampak pada renggangnya hubungan antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Sunda.
Salah satu penyebabnya karena sejarah perang bubat terus diproduksi dari mulut ke mulut, diceritakan dari generasi ke generasi. Dampaknya perang ini memunculkan sentimen kesukuan, dan muncul kerenggangan antar masyarakat di tingkat bawah.
"Kenapa (dampak perang bubat) masih bertahan sekian ratus tahun? Kalau dari sudut pandang antropologi, peristiwa seperti ini karena diwariskan dari generasi ke generasi," kata Antropolog UGM, Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra ke detikcom, Rabu (4/10/2017).
Sementara tragedi bubat sendiri melibatkan banyak orang, terutama orang-orang Sunda yang konon dibantai oleh pasukan Majapahit di Bubat, Jawa Timur. Imbasnya peristiwa kelam tersebut tidak bisa dilupakan orang-orang Sunda, lalu diceritakan secara turun temurun.
"Saya kira juga karena berkaitan dengan isi cerita (perang bubat) sendiri, berupa pernikahan yang tidak jadi lalu berujung perang. Ini adalah peristiwa yang sangat tragis, dan menurut saya secara psikologis (berdampak) sangat-sangat dalam," ungkap Heddy.
Konon perang bubat terjadi pada abad ke-14 M atau di tahun 1357, yang melibatkan Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Pajajaran. Perang ini bermula dari rencana pernikahan raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan puteri Pajajaran, Dyah Pitaloka.
Diduga karena salah paham, rombongan Raja Padjajaran yang dipimpin Prabu Maharaja Linggabuana beserta putri Dyah Pitaloka dibantai. Namun tidak ada sumber pasti dalam tragedi ini, sebab tidak ada satu pun prasasti yang mengungkap perang tersebut.
"Padahal persekutuan yang paling akrab adalah perkawinan, dan perselisihan yang paling parah adalah peperangan. Peristiwa ini menimbulkan rasa yang sangat menyakitkan. Seumpama kalau cuma gagal menikah mungkin tidak menjadi masalah," ucapnya.
Heddy melanjutkan, sebenarnya dampak perang bubat sekarang ini sudah tidak begitu dirasakan masyarakat. Namun dia tidak memungkiri masih ada kalangan tertentu tidak suka dengan peristiwa tersebut, dan terkadang mengungit-ungkit peristiwa ini.
"Kalau secara individu (dampak perang bubat) sebetulnya tidak terasa. Karena masih bisa terjadi hubungan pernikahan antara orang Jawa dengan orang Sunda. (Kalau ada larangan) itu persoalan pada level keluarga, dan tidak semua orang seperti itu," jelasnya.
Larangan pernikahan antara laki-laki Sunda dengan gadis Jawa merujuk peristiwa bubat, kata Heddy, hanya dijadikan alat pembenaran.
"Sebetulnya baik-baik saja, tetapi karena tidak direstui, (perang bubat) dijadikan pembenaran agar tidak terjadi perkawinan," pungkas dia. (bgs/bgs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini