Tradisi budaya sebagai ungkapan syukur pada Sang Pencipta diawali dengan prosesi pengambilan air dari Tuk Sikopyah merupakan satu rangkaian kegiatan Festival Gunung Slamet yang diselenggarakan di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga.
Sebanyak 777 orang dengan pakaian adat berkumpul di halaman masjid Dusun Kaliurip, Serang, Kamis (21/9/2017). Kaum perempuan mengenakan baju kebaya dan kain serta menggunakan caping, sedangkan kaum pria memakai busana serba hitam dengan ikat kepala.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usai prosesi selamatan selesai, satu persatu dari mereka membawa lodong, bumbung bambu sepanjang 2 meter dengan ujung dibuat agak runcing untuk wadah penampung air dibawa turun menuju Balai Desa Serang untuk disimpan. Lodong akan kembali dikeluarkan pada hari ketiga untuk diruwat dan air itu akan dibagikan kepada petani guna disiramkan ke lahan mereka.
"Pelestarian tradisi kebudayaan setiap tahun melaksanakan kegiatan ini. Kalau tidak dilaksanakan biasanya masyarakat ada sesuatu yang dirasa kurang," kata Kepala Desa Serang, Sugito, Kamis (21/9/2017).
Menurut dia tradisi ini memang sejak awalnya selalu dilaksanakan selama bulan Suro yang awalnya merupakan sedekah bumi. Namun sekarang dikemas dalam sebuah hajatan Festival Gunung Slamet dan dibuat lebih besar untuk menarik wisatawan.
Untuk tetap terus menjaga tradisi yang sudah ada sejak turun temurun dan untuk tetap menjaga kelestarian Tuk Sikopyah, pihaknya membuat Perdes agar di sekitar mata air Sikopiyah jangan sampai rusak. Setelah Perdes tersebut ditetapkan, hutan di sekitar Tuk Sikopyah semakin rimbun dan lestari dan tidak ada warga masyarakat yang berani melanggar aturan.
"Kalau ada yang menebang satu pohon pun kita kenakan denda sampai Rp 5 juta, itu sudah menjadi peraturan desa supaya sumber mata air ini tetap lestari," ucapnya.
Setidaknya, dengan menjaga sumber mata air Sikopyah ini dapat dimanfaatkan oleh sekitar 5 hingga 10 ribu jiwa yang ada di 3 desa yakni Desa Serang dan Desa Kutabawa Kecamatan Karangreja, Purbalingga sampai desa Gombong, Kecamatan Belik, Pemalang.
Sementara menurut Samsuri (60), juru kunci Tuk Sikopyah mengatakan ritual pengambilan air ini sudah ada sejak dulu dan diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka mensyukuri sumber air ini sebagai air penghidupan warga Purbalingga bagian atas, seperti Desa Serang, Kutabawa. Bahkan aliran air itu mengalir hingga wilayah kabupaten tetangga, yakni Pemalang.
"Makanya tiap tahun ini diadakan mujahadah dan manaqib untuk menjaga kelestarian sumber itu. Karena sumber Sikopyah itu sumber satu satunya yang dibutuhkan warga masyarakat Purbalingga bagian atas dan sebagian paling banyak daerah Pemalang," ucapnya.
Dari cerita turun-temurun, lanjut dia, asal mula nama Sikopyah berasal dari legenda Haji Mustofa, salah satu penyebar agama Islam di wilayah tersebut. Mustofa bertapa di sumber air itu. Namun suatu saat, kopyah atau peci Haji Mustofa tertinggal dan hilang di tempatnya bertapa. Dari kejadian itu, Mustofa menamakan tempat tersebut sebagai Tuk Sikopyah.
Dengan menjaga mata air pegunungan yang berbalut tradisi tersebut para petani makmur dan tidak pernah kekurangan air meskipun saat musim kemarau.
"Untuk tetap menjaga kelestarian, masyarakat juga menanam tanaman seperti bambu, beringin yang bisa jadi resapan air. Alhamdulilah musim kemarau kemarin biasa biasa saja tidak surut," jelasnya. (arb/sip)