Seperti di sisi selatan Waduk Gajah Mungkur, Desa Glesungrejo, Kecamatan Baturetno, Wonogiri. Waduk yang surut dimanfaatkan warga sebagai lahan pertanian.
Sejak air waduk mulai surut, warga sudah siap menanaminya dengan padi ataupun jagung. Lahan itu pun sudah dipetak-petakkan oleh masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lahan pertanian di lahan waduk yang mengering. Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom |
Dengan adanya aktivitas tersebut, dasar Waduk Gajah Mungkur yang kering sudah terlihat hijau dalam waktu satu bulanan. Namun di beberapa titik, masih terlihat tanah yang sangat kering hingga tampak merekah.
"Sebenarnya memang sudah kering. Tapi untuk lahan yang ditanami padi, kita buatkan sumur pantek untuk pengairan," kata warga lainnya, Parmin.
Pembuatan sumur, menurutnya menghabiskan biaya lebih dari Rp 2 juta. Itu pun hanya dapat mengairi lahan seluas 1 hektare.
"Biasanya biaya ditanggung beberapa petani. Tapi ada juga yang perorangan. Kalau airnya sudah habis, kita buat sumur di titik lain," ujarnya.
Jalan lama yang muncul jika waduk mengering. (Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom) |
Selain dijadikan lahan pertanian, tanah kering itu dimanfaatkan sebagai jalur alternatif. Jalur itu menghubungkan Kecamatan Eromoko dengan Kecamatan Baturetno.
Di luar musim kemarau, jalur tersebut dihubungkan dengan perahu. Saat kering, jalan tersebut bisa dilalui dengan sepeda motor. Tentu kondisinya tidak mulus, sehingga pengendara harus ekstra hati-hati melewati jalan tersebut.
Warga Glesungrejo, Suroto, mengaku hampir setiap hari melewati jalan tersebut. Menurutnya, waktu tempuh satu jam lewat jalan besar bisa dipangkas menjadi 20 menit.
"Walaupun kondisi jalan jelek, tidak apa-apa. Yang penting lebih cepat sampai," ujar dia. (mbr/mbr)












































Lahan pertanian di lahan waduk yang mengering. Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom
Jalan lama yang muncul jika waduk mengering. (Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom)