Hanif Dhakiri memaparkan 2 juta angkatan kerja di Indonesia saat ini tersebut menghadapi sejumlah problem. Pertama ketidaksesuaian antara pendidikan dengan bidang kerja. Kedua, adalah tenaga kerja yang tinggi tidak seiring dengan pertumbuhan industri. Ketiga, kualifikasinya rendah, misalnya sarjana komputer tidak bisa mengoperasikan komputer atau sarjana perminyakan tidak mengerti minyak.
"Sekolahnya apa, kerjanya apa, gak jelas. Ini 3-4 orang dari 10 orang, angkanya 37%. Berarti yang sekolahnya komputer kerja di komputer, yang kesehatan kerja di kesehatan, yang migas di migas hanya 3-4 orang dari 10 orang," kata Hanif dalam forum 'Indonesia HR Summit' di hotel Tentrem Yogyakarta, Selasa (12/9/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penduduknya seperlima dari China, tetapi jumlah perguruan tingginya 2 kali lipat dari China. Bisa bayangkan output-nya seperti apa. Itu yang menjadi tantangan angkatan kerja baru," kata hanif.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa angkatan kerja baru fresh graduate, termasuk 750-800 ribu lulusan perguruan tinggi, tidak bisa langsung masuk ke pasar kerja. Padahal dunia industri ingin bisa siap pakai.
"Saya katakan, tidak ada output pendidikan yang siap pakai, yang ada adalah output pendidikan yang siap training," kata Muhammad Hanif Dhakiri.
Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia memang belum secara total berorientasi pada demand driven (berorientasi pada kebutuhan), sehingga angkatan kerja yang jumlahnya 2 juta per tahun tersebut tidak serta merta masuk ke pasar kerja.
Oleh karena itu perlu ada intervensi baik yang dilakukan pemerintah maupun dunia usaha yakni vocational training dengan berbagai bentuk pelatihan yang berorientasi pada sertifikasi profesi. (mbr/mcs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini