"Sejak awal, putra putri Hamengku Buwono IX yang masih hidup ada 16 orang, sudah tidak setuju. Tapi beliau (Sultan HB X) nekat saja. Menebar kebohongan publik dengan cara membodohi masyarakat dengan dalih persamaan gender dan sebagainya," ujar salah satu adik Sultan HB X, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo kepada detikcom, Rabu (6/9/2017).
"Persamaan gender berlaku di sosial dan politik saja. Tetapi tidak bisa (berlaku)di adat dan agama," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Contoh, setiap desa ada acara atau upacara-upacara adat. Apakah kepala desanya berani mengubah? Kalau berani pasti akan dihajar massa," kata Prabukusumo.
Prabukusumo menjelaskan, yang bisa diubah yakni pranatan, bukan paugeran. Menurutnya banyak yang menyamakan pranatan dan paugeran.
Dia memberi contoh, misalnya dalam pernikahan yang merupakan paugeran adalah akad nikahnya. Sedangkan pranatan adalah soal boleh dipilihnya kapan dan di mana akad nikah itu akan dilaksanakan.
"Mereka mengatakan bahwa sabda raja lebih tinggi daripada paugeran. Itu kebohongan publik juga. Kenapa? Presiden juga bisa bersabda. Keduanya baik raja atau presiden atau siapapun memiliki hak prerogatif. Artinya, sabda presiden tidak boleh boleh melanggar konstitusi. Lha kalau sultan atau raja atau kepala suku itu sabdanya tidak boleh melanggar adat istiadat tradisi budayanya yakni paugeran adat," urai Prabukusumo.
"Jadi kalau presiden, perdana menteri, atau kanselir sabdanya melanggar konstitusi maka bisa kena impeachment. Sama seperti sultan, raja, kaisar kalau melanggar adat istiadat tradisi ya kena impeachment," tuturnya.
Prabukusumo berharap semua pihak untuk kembali ke paugeran adat Keraton Yogyakarta.
"Karena keputusan MK apabila salah yang terkena langsung 4 Keraton Trah Kerajaan Mataram yaitu Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Puro Pakualaman dan Puro Mangkunegaran," pungkasnya. (sip/mbr)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini